SoloposFM, Keadaan yang paling lekat dengan kondisi saat ini dan banyak dialami oleh mayoritas masyarakat adalah berubahnya sistem dari yang semula tatap muka secara offline menjadi online/daring, termasuk dalam dunia pendidikan.
Hal ini tentu menuntut semua pihak untuk belajar cepat menyesuaikan dengan keadaan. Tidak hanya pendidik, orangtua dan anak harus bisa adaptasi dengan perubahan ini. Guru harus belajar membuat materi-materi pembelajaran online. Anak-anak juga diminta bersegera menyesuaikan belajar melalui laptop dan orangtua juga dituntut bisa mendampingi anak-anak sehingga bisa mengikuti proses belajar dengan baik.
Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., Psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia Cabang Solo Raya, dalam perbincangannya dengan Solopos FM, Kamis (5/11/2020), bersama host Ika Wibowo, mengungkapkan pelajaran daring kadang tidak sesuai dengan harapan. Alih-alih bisa membersamai anak-anak dengan sistem belajar daring dengan hepi, orangtua terutama ibu justru menjadi sering terserang emosi dan darah tinggi. Hasilnya, semua menjadi kacau dan berujung pada stress.
Nah bagaimana agar daring ini tidak berujung pada darting?
Yustinus Joko Dwi Nugroho mengungkapkan beberapa kasus dari pembelajaran jarak jauh stress tidak hanya untuk orangtua, tapi juga guru. Mengingat guru perempuan juga seorang ibu yang punya anak. Masalah diperparah bagi orangtua yang gaptek (gagap teknologi) dan juga keterbatasan peralatan.
“Kita memang kaget, stress, tapi kalau stress terus tentu tidak baik. Stress akan sesuatu yang baru adalah wajar. Tapi jangan diteruskan menjadi hal yang merusak,” papar Joko.
Komunikasi Dengan Pasangan
Lebih lanjut Joko menjelaskan, budaya Indonesia yang patrelinial, membuat tidak ada kerjasama yang baik antara suami dan istri. Suami masih menuntut bahwa urusan anak bahkan terkait pelajaran anak menjadi tanggungjawab istri. Hal ini menjadi permasalahan baru, saat satu pihak menjadi pihak yang tertindas, menyebabkan toxic family.
Paham Diri Sendiri Dan Anak
Untuk menghindari stress, orangtua harus memahami diri sendiri, kapan akan marah, ketika capek dan penat. Ketika sudah mulai jengkel dengan anak yang moodnya juga sedang buruk, kita harus belajar untuk mengelola kesabaran.
“Ketika sudah merasa jengkel, harus mencari pasangan untuk berbicara, atau menjauhkan diri sebentar untuk menenangkan emosi. Namun jika kita dan anak sudah mentok, harus jeda. Istirahat semua,” papar Joko.
Ekspektasi Pada Anak
Orangtua seringnya memiliki tuntutan pada anak sehingga kita tidak mengetahui potensi sebenarnya anak kita. Hal ini menurut Joko harus dipahami orangtua, agar mengenal seperti apa potensi anak.
“Setiap anak berbeda. Kita sering membandingkan anak dengan anak lainnya. Ada anak yang cepat belajarnya, ada yang lama penyerapannya. Hal inilah yang harus dipahami, bagaimana anak kita efektif melalui metode seperti apa. Auditori menggunakan tampilan visual dan suara. Atau jenis kinestetik, misalnya dengan praktek ,” jelas Joko.
Inilah saat dimana orangtua mengenali diri sendiri dan anak. Suasana dibuat nyaman bersama. Joko menjelaskan, orangtua harus keluar dari zona nyaman dan dituntut keluar dari zona nyaman.
“Jika sebelumnya anak diserahkan pada pengasuh dan guru, kini harus mengenal anak kita sendiri. Bagaimana agar pembelajaran dibuat nyaman secara bersama. Dan juga terus berkomunikasi. Baik dengan pasangan dan juga anak kita,” pyngkas Joko.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]