SoloposFM – Kabar pesawat Sriwijaya Air jatuh, selain meninggalkan duka juga menimbulkan trauma psikologis bagi sebagian orang. Diantaranya rasa panik dan cemas untuk naik pesawat terbang.
Ketakutan bisa disebabkan fobia ketinggian, trauma karena pernah mengalami turbulensi saat naik pesawat, kehilangan orang terkasih saat kecelakaan pesawat atau akibat membaca atau melihat berita tentang kecelakaan pesawat.
Pemberitaan mengenai jatuhnya pesawat ini berpotensi membuat orang takut naik pesawat, atau lebih parahnya lagi, memicu aviophobia.
Aviophobia merupakan kondisi di mana seseorang memiliki ketakutan berlebihan naik pesawat.
Komentar Pendengar
Trauma naik pesawat akibat berita jatuhnya pesawat Sriwijaya Air ternyata juga dialami separo lebih pendengar Solopos FM.
Dalam polling di Dinamika 103, Rabu [13/1/2021], sebanyak 56 persen pendengar mengaku trauma naik pesawat pasca kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182.
Pengalaman trauma naik pesawat disampaikan pendengar, Yudis, “Saya pernah waktu itu perjalanan dari LA ke Tokyo pakai KLM Air. Mau sampai Jepang pesawat kena turbulensi, dari ketinggian sekian ribu meter diturunkan. Iiihh rasanya sudah kayak mau mati. Melihat orang-orang wajahnya sudah pucat semua. Akhirnya selamat bisa mendarat di Narita. Saya bisa membayangkan seperti kejadian Sriwijaya itu dalam keadaan menukik.”
Sementara menurut Ahmad Sanusi, “Ini adalah human error kasus kecelakaan penerbangan yang terus terjadi dalam satu dekade oleh bangsa ini dan sejarah terburuk pula bagi maskapai penerbangan yang ada di dunia. Harus ada audit dari pihak legislator untuk operator penerbangan swasta dalam menekan standarisasi dan pelayanan ke publik agar tidak terjadi lagi kecelakaan musibah ini di kemudian hari. Kalau bicara masalah trauma yang dihubungkan dengan kecelakaan pesawat, tergantung cara berpikir logika kita.”
Pendapat berbeda disampaikan pendengar, Sulung, “Tidak (trauma). Tergantung perusahaan pengelola penerbangan.”
Pendapat Psikolog
Menurut Psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia Cabang Solo Raya, Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., Psikolog, kadang-kadang berita-berita yang didengar memang bisa mempengaruhi mindset seseorang.
“Jika berita atau informasi yang didengar sifatnya negatif, bisa memunculkan ketakutan, kecemasan, atau trauma, meskipun orang tersebut tidak mengalaminya sendiri,” tutur Joko.
Ia mengatakan ketika ada ketakutan, kenali apakah ketakutan itu realistis atau tidak.
“Jika tidak realistis coba ubah pikiran kita. Caranya dengan melakukan reframing, mencoba berpikir dari sisi lain,” tambahnya.
Joko juga menyarankan jika masih mengalami kecemasan atau trauma, bicaralah dengan orang yang bisa membantu mengatasi ketakutan atau trauma tersebut, seperti dengan psikolog.
Masyarakat bisa memanfaatkan layanan konseling “Sejiwa” dari pemerintah melalui link telpon 119.
[Diunggah oleh Mita Kusuma]