SoloposFM – Indonesia menduduki posisi paling terakhir di Asia Tenggara atau di posisi 29 dari total 32 negara yang disurvei Microsoft untuk tingkatan kesopanan daringnya. Remaja Indonesia tidak memberikan kontribusi apapun terhadap skor Indonesia selama 2020.
Survei dalam studi itu melibatkan remaja hingga orang dewasa dari masing-masing negara dengan Belanda, Inggris dan Amerika Serikat mengambil tiga tempat teratas.
Sedangkan Singapura menempati urutan keempat secara global menurut laporan Microsoft terbaru di Digital Civility Index (DCI). Hal tersebut membuat Singapura menjadi negara tersopan dalam dunia daring secara regional di Asia Tenggara.
Dikutip dari Mashable SE Asia, Minggu (21/2/2021), laporan tersebut mencakup 16.000 responden dari 32 negara yang mengukur kualitas interaksi secara daring yang dialami pada tahun 2020.
Tiga risiko terbesar Indonesia dalam dunia daring adalah hoax dan penipuan dengan +13 poin, ujaran kebencian +5 poin, dan diskriminasi dengan -2 poin. Tetapi, empat dari sepuluh orang mengatakan bahwa kesopanan dalam dunia daring menjadi lebih baik selama COVID-19 karena rasa kebersamaan yang lebih besar dan lebih banyak yang saling membantu.
Pendapat Pendengar
Terkait tingkat kesopanan masyarakat Indonesia dalam dunia daring, pendapat pendengar Solopos FM terbelah. Dalam polling di sesi Dinamika 103, Selasa (23/2/2021), 50 persen pendengar menilai warga net atau netizen Indonesia sopan dan 50 persen lainnya menyebut tidak sopan.
Salah satu pendengar Solopos FM mengatakan, “Tidak sopan. Menurut saya itu dimulai dari para elit politik, yang seharusnya memberikan contoh yang baik, tapi terkadang malah membuat bingung dan sedih karena menghilangkan semua etika atau norma. Saya berharap semoga ke depannya bangsa ini menjadi bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai budaya dan berakhlak sehingga terciptalah kerukunan dalam keberagaman. Pahamilah Pancasila dengan benar.”
Pendapat senada disampaikan Sasongko, “Miris kalau melihat bangsa Indonesia saat ini tingkat kesopanan sudah rendah sekali. Penyebab utama dari pendidikan orang tua dan lingkungan kita. Watak dan karakter bisa kelihatan saat bermedia sosial. Yang mudah dari WA group saja. Kita yang nggak kenal bisa menilai orang tersebut dari komentar-komentarnya.”
Sementara , menurut Yusuf, “Banyak saya temukan teman-teman real di dunia nyata itu pendiam. Namun ketika di dunia maya justru riuh dan cenderung cerewet dan kebanyakan mengesampingkan etika.”
Pendapat Narasumber
Sementara itu, menurut Adib Asfar Muttaqin, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo, faktor budaya bisa jadi juga berpengaruh terhadap tingkat kesopanan atau cara orang bersikap, berkomentar, atau beropini dalam dunia daring.
“Yang kerap jadi masalah, orang berpendapat atau komentar sesuatu tanpa data alias asal bunyi, sesuai dengan kepentingannya,” kata Adib.
Ada kekahwatiran sejak lama terkait uu ite, bahkan sebelum Jokowi menyampaikan wacana revisi UU ITE, mengingat uu ini sdh digugat ke MK berkali-kali, bahkan sudah sejak jaman SBY.
Menurut Adib, untuk mengatasi hal itu terapinya bukan pemidanaan. Ia juga mengatakan langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran mengenai penanganan perkara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah tepat.
[Diunggah oleh Mita Kusuma]