SoloposFM, Kebahagiaan terpancar dari wajah lima anak disabilitas selepas berfoto bersama dengan Maria Goreti peraih medali emas di nomor 400 meter T54 (kursi roda). Sembari berebutan berbicara, mereka mengatakan senang bisa menyaksikan langsung ASEAN Paragames di Stadion Manahan, Solo, Kamis (4/8/2022).
Bahkan mereka serempak tunjuk tangan dan berteriak “Saya!” ketika media bertanya siapa yang mau jadi atlet. Kelimanya adalah Angga Saputra (15 tahun), Muhammad Abdillah (10), Didik Pamungkas (16), Annisa Putri Pradani (11), dan Jason Ardiansyah (15).
Kelimanya hanya sebagian kecil dari 18 siswa SLB Negeri 1 Sragen yang turut hadir dan menyaksikan pertandingan para-atletik di stadion.
Pelatih sekaligus pengajar para siswa ini, Fendi Eko Cahyono (36) mengatakan bahwa semua murid yang diajak untuk menyaksikan pertandingan di ASEAN Paragames ini memang dilatih dan dipersiapkan untuk menjadi atlet. Seperti Angga yang sedang dipersiapkan untuk fokus di angkat berat, kemudian Abdillah yang fokus di para-renang, dan Didik, Putri, dan Jason yang memang atlet boccia.
“Kelima ini yang bakat olahraganya sangat menonjol. Sementara siswa yang lainnya tuna rungu (tuli) dan tuna grahita (keterbelakangan mental). Mereka kita bawa untuk menyaksikan para atlet di ASEAN Paragames ini biar termotivasi dan orang tuanya pun juga kita ajak, biar mereka juga paham. Bahwa seperti ini para atlet disabilitas bertanding dan pada akhirnya mereka (orang tua) jadi mensuport anak-anaknya untuk menjadi atlet,” katanya.
Baca juga : Inspirasi Kemandirian dari Anak Berkebutuhan Khusus di Pameran Produk ASEAN Paragames 2022
Dukungan Orangtua
Menurut Fendi akan sulit untuk anak bisa fokus menggeluti bakat olahraganya bila tidak didukung oleh orang tua. Sebab, itu dirinya menilai mengikutsertakan orang tua dalam even-even olahraga disabilitas seperti ini sangat penting agar dapat meyakinkan orang tua bahwa anak mereka bisa bersaing dan berkompetisi juga.
“Jadi yang sulit adalah untuk meyakinkan orang tua. Karena mereka pikir, anak-anak mereka berlomba dicampur dengan umum (non difabel). Jadi berpikirnya apakah anak saya bisa. Makanya orang tua kami ikutsertakan ke ASEAN Paragames sini agar mereka lihat seperti ini loh perlombaan untuk atlet disabilitas, sama kompetitifnya dan sama meriahnya,” tambahnya.
Sehingga nantinya, para orang tua akan mendukung anaknya 100 persen untuk terjun sebagai atlet. Kalau menunjukkan belum ada atlet yang berprestasi, menurutnya, pasti akan sulit untuk bisa meyakinkan orang tua.
Pilihan Cabor
Bagaimana dirinya menyalurkan bakat anak didik untuk fokus di olahraga apa, Fendi mengaku yang pertama dilihat adalah klasifikasinya. Apakah ada klasifikasinya di cabor tertentu, kalau ada, anaknya akan dipaksa untuk mencoba olahraga itu.
“Kalau mereka ditanya mau cabor apa, pasti enggak akan mau. Jadi harus kita paksa coba pertama. Seperti Didik misalnya, pertama kita paksa di cabor boccia. Ternyata dia malah berprestasi dan anaknya pun lama kelamaan senang. Dia sudah menghasilkan medali emas Peparpenas (Pekan Paralimpik Pelajar Nasional) kemarin dari cabor boccia ini,” imbuhnya.
Salah satu didikkannya yang berhasil menjadi atlet, adalah Yunita Anastasya (cerebral palsy/gangguan otot) yang merupakan atlet para-atletik. Yunita telah sukses menempati peringkat ketiga nomor 100 meter dan 200 meter di Asian Youth Paragames di Bahrain beberapa waktu lalu. Lalu dia juga turut bertanding di ASEAN Paragames ini.
“Dia (Tasya), saya latih sejak kelas 4. Pulang sekolah, jam 11.00 WIB saya ajak ke lapangan buat latihan. Kalau pulang dulu, orang tuanya pasti malas mengantar. Hasilnya sekarang kelihatan. Dia yang menjadi contoh saya untuk mendidik dan melatih anak-anak ini,” ucap Dwi.
Baca juga : Pelajar Belajar Kesetaraan di Venue ASEAN Paragames Solo 2022