Radio Solopos — Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus grup Facebook Fantasi Sedarah yang baru-baru ini viral karena memuat konten menyimpang berisi narasi inses dan kekerasan seksual terhadap anak.
Ketua Umum PP Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah menegaskan keberadaan grup tersebut bukan sekadar penyimpangan moral, melainkan bentuk kejahatan yang nyata dan terorganisasi.
Ia meminta negara tidak tinggal diam terhadap ancaman ini.
“Ini bukan fantasi, ini kejahatan! Jangan sampai istilah fantasi membuat publik atau penegak hukum meremehkan substansi kasus ini. Ini sudah masuk wilayah pidana, melibatkan konten kekerasan seksual terhadap anak yang sangat serius,” ujar Margaret, seperti dikutip Radio Solopos dari NU Online, Senin (19/5/2025).
Menurutnya, negara harus bertindak melalui jalur hukum dan regulasi digital.
Ia menyebut adanya ruang di media sosial yang memberi tempat bagi konten menyimpang semacam itu menunjukkan lemahnya kontrol platform serta minimnya literasi digital yang berperspektif perlindungan anak.
“Kami meminta pihak kepolisian, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta lembaga perlindungan anak untuk bergerak cepat. Jangan tunggu ada korban nyata, karena sebenarnya konten itu sendiri sudah menciptakan luka sosial dan ancaman psikologis,” imbuhnya.
Fatayat NU sebagai organisasi perempuan muda Nahdlatul Ulama menilai bahwa kasus ini bukan insiden terisolasi.
Menurut Margaret, fenomena ini adalah puncak gunung es.
“Grup semacam ini bisa ada karena ada permisivitas, ada pembiaran. Bahkan mungkin ada demand. Maka selain penindakan, negara juga harus bekerja lebih keras di ranah edukasi,” ujarnya.
Ia menyoroti potensi keterlibatan pelaku kekerasan seksual dalam grup tersebut.
Margaret meminta agar aparat melakukan digital forensik untuk melacak akun-akun yang membagikan atau mengaku pernah melakukan tindakan kriminal.
“Ini bukan lagi soal wacana menyimpang, ini sudah ada pengakuan tindakan kekerasan terhadap anak. Kalau itu benar, maka ada korban yang harus segera dilindungi,” tegasnya.
Fatayat NU mengingatkan penyimpangan seksual seperti inses tidak bisa dinormalisasi dengan alasan kebebasan berekspresi.
Dalam konteks keislaman dan nilai kemanusiaan, inses adalah bentuk kebobrokan yang harus dicegah, diberantas, dan tidak boleh diberi ruang sedikit pun.
“Agama Islam menempatkan keluarga sebagai ruang suci. Ketika hubungan sedarah dijadikan bahan fantasi seksual, itu bukan hanya menyimpang secara hukum, tapi juga menodai tatanan nilai yang paling mendasar dalam Islam,” ucap Margaret.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, pendidik, dan aktivis perempuan, untuk bersama-sama membangun kesadaran kolektif agar ruang digital di Indonesia tidak menjadi tempat berkembangnya predator seksual maupun kelompok penyimpang.
Margaret menekankan pentingnya pengawasan terhadap anak dalam menggunakan media sosial.
Ia menyebut, banyak anak dan remaja yang tidak menyadari risiko dunia digital dan bisa saja menjadi sasaran eksploitasi.
“Kami berharap para orang tua, guru, dan pesantren agar lebih terbuka mendampingi anak-anak menghadapi dunia digital. Jangan sampai kita kecolongan dan menyesal saat semuanya sudah terlambat,” katanya.