SoloposFM, Pemerintah memutuskan mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke harga pasar, yang berarti tidak ada lagi minyak goreng kemasan berharga murah demi mengatasi kelangkaan.
Dengan kebijakan ini, penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan senilai Rp14 ribu akan dicabut dan diserahkan pada mekanisme pasar.
Pemerintah akan memberikan subsidi untuk minyak goreng curah. Namun, dengan subsidi ini, harga eceran tertinggi minyak goreng curah dinaikkan dari Rp11.500 menjadi Rp14 ribu per liter.
Sebelum kebijakan terbaru itu, kelangkaan minyak goreng masih terjadi di banyak tempat sehingga banyak warga harus antre untuk membeli walau pemerintah sudah mengeluarkan beberapa aturan untuk menstabilkan harga dan pasokan sejak Januari lalu.
Baca juga : Untuk Semua Perempuan di Indonesia, Yuk Eksplor Potensi Diri di Media Sosial dengan Empat Cara Ini
Ketidakseimbangan Stok dan Permintaan
Lukman Hakim, Pengamat Ekonomi dari UNS menilai ketidakstabilan harga minyak goreng terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara stok dan permintaan dari masyarakat.
“Setelah lama Covid stok terbatas karena daya beli masyarakat turun, sehingga produksi juga turun. Kala Covid selesai dan kembali normal, permintaan banyak namun stok terbatas hingga kembali langka,” papar Lukman.
Lebih lanjut Lukman menjelaskan jika produksi minyak di tanah air hanya disokong beberapa pengusaha atau oligopoly. Jumlah produsen yang hanya sedikit membuat barang bisa langka sehingga harga naik.
“Saat ini sedang terjadi pencarian kesimbangan harga. Ketika HET (Harga Eceran Tertinggi) ditetapkan Pemerintah, distributor akan menahan barang kerena stok terbatas
Suplay dan stok tidak seimbang. Akibatnya di pasar komoditif pedagang terbatas. Diketahui jika di Solo hanya ada 4-5 pedagang besar yang kuasai distibusi minyak goreng,” ungkapnya lebih lanjut.
Baca juga : Empat Cara Seru Bikin Bahagia Tinggal di Kamar Aja, Kepribadian Ekstrover Wajib Nyimak!
Intervensi Pemerintah
Lukman secara khusus juga meminta Tim Penanggulangan Inflasi Daerah (TPID) untuk aktif memantau pergerakan harga di pasar.
“Jaman Jokowi jadi Walikota Sol, TPID ini dibentuk untuk pantau harga dan semua terlibat. Kita sudah punya peragkatnya dan tidak sulit. Buktinya operasi pasar di daerah berhasil karena memaksa penimbun stok mengeluarkan barangnya. Disinilah pentingnya peran pemerintah melalui TPID,” jelas Lukman.
TPID harus bergerak menyikapi asimetrik information atau ketidasesuaian informasi yang membuat harga tinggi. Seperti isu kelangkaan barang. Jika kondisi ini tidak diatasi, menurut Lukman, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada komoditi lain seperti cabai.
“Beri ketenangan masyarakat agar tidak panik. Pedagang ambil untung boleh tapi jangan bikin panik hingga membuat masyarakat over reaktif. Masyarakat juga harus tenang tidak usah panik dengan memborong. Hal itu hanya akan membuat harga semakin tinggi. Sesuaikan dengan kebutuhan! Pengusaha kuliner juga bisa menggunakan asosiasinya untuk nengosiasi dengan pedagang atau distributor besar agar ketersediaan stok terjamin dengan harga wajar,” pungkas Lukman.
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika, Jumat (18/3/2022) Sobat Solopos mengungkapkan sejumlah opininya. Berikut sejumlah opini mereka:
“Semoga pemerintah segera action tidak hanya janji-janji saja akan menindak mafia minyak goreng,” tulis Dyah.
“Minyak goreng jadi barang langka di wilayah saya,” ungkap Fredy.
“Semoga nggak nular ke komoditas lain jelang puasa. Pemerintah harus turun tangan nih, seperti kata Pak Lukman!” kata Desi.