Radio Solopos, SOLO — Ekonomi digital kerap dipuja sebagai jalan pintas menuju kemajuan. Banyak yang beranggapan sebagai membuka peluang kerja baru, memperluas pasar, dan mendemokratisasi akses.
Tapi, yang menjadi pertanyaan dasarnya, benarkah semua orang mendapat manfaat yang adil? Atau barangkali, ekonomi digital hanya versi baru dari kapitalisme lama, tapi dikemas lebih mulus dan lebih menggiurkan?
Kita bisa ambil contoh platform transportasi online. Di permukaan, mereka seakan memberi pekerjaan kepada jutaan orang, menciptakan fleksibilitas, dan meningkatkan kenyamanan konsumen.
Tapi yang perlu dipertanyakan, apakah driver ojek online (ojol) yang bekerja 10–12 jam sehari dengan penghasilan pas-pasan bisa disebut beruntung? Apakah mereka benar-benar “mitra”, atau hanya pekerja informal tanpa perlindungan hukum, yang nasibnya ditentukan algoritma dan rating konsumen?
Saya pikir, inilah sisi gelap ekonomi digital yang jarang dibahas secara mendalam. Memang, bayak platform menjanjikan kebebasan, padahal kenyataannya menciptakan ketergantungan.
Masyarakat bukan hanya pengguna, tapi juga produk; data mereka dikumpulkan, dianalisis, dan dijual untuk keuntungan segelintir korporasi global. Kita pikir kita yang mengendalikan aplikasi, padahal sering kali justru aplikasi yang mengendalikan kita.
Fenomena ini bukan isapan jempol. Dalam buku The Age of Surveillance Capitalism (Shoshana Zuboff, 2019), menjelaskan bagaimana perusahaan teknologi besar, seperti Google, Facebook, dan Amazon tidak sekadar menjual layanan.
Akan tetapi menjual prediksi perilaku manusia berdasarkan data masif yang mereka kumpulkan. Ini bukan lagi soal inovasi, tapi tentang siapa yang menguasai infrastruktur digital dan bagaimana mereka mengeksploitasinya demi keuntungan maksimum.
Kesenjangan Struktural
Masalah lainnya yaitu kesenjangan struktural. Barangkali kita tidak asing lagi dengan narasi bahwa ekonomi digital bisa menyetarakan peluang.
Akan tetapi dalam praktiknya, yang diuntungkan tetap mereka yang sudah punya modal akses ke teknologi, pendidikan, bahasa asing, dan koneksi.
Sementara mereka yang tidak, seperti petani, nelayan, buruh informal hanya jadi penonton atau buruh murah digital. Di sisi lain, pemerintah cenderung terlalu senang dengan pertumbuhan angka.
Ketika perusahaan rintisan (startup unicorn) muncul satu per satu, kita langsung bangga tanpa melihat struktur ekonomi di belakangnya.
Belum lagi soal literasi digital yang masih timpang, ketika orang masuk ke dunia digital bukan sebagai pemain, tapi korban. Penipuan online, judi digital terselubung, hingga eksploitasi tenaga kerja digital, semuanya tumbuh subur karena minimnya pemahaman, pengawasan, dan regulasi yang visioner.
Namun perlu digaris bawahi, ekonomi digital punya potensi luar biasa, tapi hanya jika kita berani menyoal siapa yang mengendalikan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tertinggal.
Kita butuh lebih dari sekadar program digitalisasi. Kita butuh desain ulang struktur ekonomi agar keadilan bisa ikut terhubung dalam jaringan, bukan hanya efisiensi dan profit.
Karena pada akhirnya, kemajuan teknologi bukan soal siapa yang paling cepat mengadopsi, tapi siapa yang paling bijak memanfaatkannya. Pada akhirnya, bijak artinya berani bertanya, apakah kemajuan ini membuat hidup manusia lebih baik, atau hanya lebih nyaman untuk segelintir orang?
*Penulis adalah mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.