SoloposFM, Anak-anak berkebutuhan khusus rentan tersisihkan saat pandemi Covid-19. Menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk terus belajar di kala Pandemi. Tantangan serupa juga dialami oleh tenaga pengajarnya.
Dewi Intan Puspitasdesi, M.Psi. Psikolog, Pengajar dan Psikolog dari Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi (PLDPI) Surakarta, dalam Dinamika 103 SoloposFM, Jumat (20/8/2021), mengungkapkan Menghadapi anak dengan kebutuhan khusus, tentu akan berbeda metodenya dibandingkan mengajar siswa umum lainnya.
“Adaptasi terhadap pandemi dan pembelajaran daring bagi anak berkebutuhan khusus sangat berbeda untuk mereka (anak berkebutuhan khusus). Daring ditangkap berbeda misalkan anak dengan gangguan konsentrasi. Kala tatap muka, mereka bisa konsentrasi lima menit saja di kelas sudah suatu pencapaian hebat. Kalau daring tentu sangat susah dilakukan, apalagi jika orangtua tidak bisa mendampingi karena harus bekerja,” ungkap Intan.
Baca juga : Harga Tes PCR, Ahli Patologi Klinis UNS : Pemerintah Harus Atur Harga Reagen!
Perpaduan Daring, Tatap Muka Hingga Home Visit
Intan memaparkan, ada sejumlah terapi bagi anak dengan kebutuhan khusus yang harus dilakukan tatap muka. Misalnya jika anak tersebut memerlukan terapi perilaku atau terapi bicara. Untuk itu sistem pembelajaran dilakukan 50% daring dan 50% tatap muka.
“Ketertarikan anak jelas ke tatap muka. Misalnya kala anak belum memahami konsep warna. Pembelajarn daring memunculkan perilaku lain, sehingga harus dilakuakn assesment lagi sesuai perubahan perilaku. Apalagi kala tidak ada stimulus di rumah karena orangtua juga bekerja dll. Perilaku anak akan menurun, kembali ke perilaku awal yang mungkin negatif,” ungkap pengajar PLDPI Surakarta ini.
Home visit ke rumah siswa menurut Intan juga perlu dilakukan, tatap muka paling efektif untuk anak berkebutuhan khusus ini. Namun sejumlah hal harus dilakukan para pengajar, mengingat anak-anak tersebut rentan.
Baca juga : Perang Baliho Politikus, Sobat Solopos : Bikin Muak! Dananya Buat Bagi Bansos Saja!
“Prokes saat menemui mereka harus diperkuat. Pengajar bahkan memakai APD karena kami sadar anak tersebut rentan tertular virus diantaranya Covid-19, sementara kekebalan tubuh mereka belum bisa ditingkatkan dengan vaksinasi,” ungkap Intan lebih lanjut.
Ia mengakui jika mendampingi anak-anak tersebut bukan hal yang mudah, khsusunya bagi orangtua. Mengingat anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama akan pendidikan, maka perlu proses dan kesabaran dari orangtua dan pengajar.
“Jika mendamping anak dengan hati pasti akan bisa, karena mereka sangat peka. Mereka akan tahu kala orangtua memperhatikan, maka mereka akan melakukan yang terbaik. Mereka tidak berbeda dengan anak lainnya dan punya hak yang sama,” pungkas Intan.
Opini Pendengar SoloposFM
Dalam Dinamika 103 SoloposFM, Jumat (20/8/2021), mayoritas Sobat Solopos mengaku pola pembelajaran tatap muka lebih tepat untuk anak dengan kebutuhan khusus tersebut.
Berikut sejumlah opini Sobat Solopos:
“Prinsip pendidikan anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah disesuaikan dengan keadaan anak.Pembelajaran ABK perlu kerjasama antara ortu dan pengajar. Kalau idealnya memang melakukan blended learning ,kadang guru perlu secara berkala melakukan home visit agar lebih terkontrol dan daring dengan memberikan tugas-tugas, nanti ortu yng membantu dengan prinsip reward and punishment. Ini yg saat ini kami lakukan di tempat kami autism center mitra Ananda Solo,” ungkap Joko.
“Tidak ada yang ideal apapun itu konsepnya ketika dunia pendidikan dihadapankan dengan kondisi keterbatasan yang sekarang terjadi di tengah pandemi ini baik itu untutk sekolah normal dan sekolah bagi anak kebutuhan khusus. Ini PR untuk kita semua dan pemerintah selaku pemegang kebijakan bagaimana bisa jalan paralel untuk lebih baik lagi kedepannya,” papar Ahmad Sanusi.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]