Radio Solopos — Topik larangan study tour sekolah akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan.
Ramainya larangan tersebut bisa saja karena secara empiris ada dampak negatif yang ditimbulkan.
Apakah larangan study tour dan dampaknya yang ekstrem sudah dikaji mendalam? Larangan study tour bisa saja menjadi latah sesaat yang dilontarkan para pejabat.
Alih-alih mencari solusi atas masalah, yang mengemuka justru secara latah melarang.
Ironisnya larangan tersebut dianggap sebagai kebijakan yang berpihak dan populis. Lantas bagaimana sebaiknya kegiatan study tour bagi siswa?
Pada konteks pembelajaran, study tour sebenarnya memberikan pembelajaran yang mendalam dan menyenangkan (joyfull learning).
Bentuknya study tour, kunjungan, outing class, studi lingkungan, dan sebagainya.
Secara esensial tujuannya hampir sama. Siswa bisa mempelajari secara langsung objek yang dikunjungi.
Benarkah study tour yang selama ini dilakukan siswa kini menjadi ”haram”dilakukan?
Study tour menjadi salah satu metode pembalajaran yang disukai siswa. Siswa memang bisa melihat dan menonton melalui berbagai media digital, misalnya foto, video, dan film animasi tiga dimensi atau 3D, namun akan berbeda cerita apabila siswa berkunjung langsung ke lokasi.
Siswa akan memperoleh data primer dan pengetahuan dari sumber utama. Misalnya untuk belajar karakter dan aneka cerita rakyat saat berkunjung ke Keraton Solo atau Keraton Jogja, siswa melihat langsung dan berdialog langsung dengan abdi dalem dan masyarakat keraton.
Ini tentu menjadi nilai plus yang dibutuhkan siswa. Pembelajaran tidak hanya di kelas, sesekali study tour menjadi salah satu alternatif. Sebenarnya dalam hemat saya, esensi study tour itu tidak salah.
Study tour dengan segala tujuan pasti membawa kebaikan bagi siswa.
Persoalannya, alasan pelarangan lebih pada hal atau aspek pragmatis ekonomis, yaitu persoalan uang atau iuran yang dibebankan kepada orang tua siswa.
Seharusnya persoalan ini dipetakan dan dianalisis secara detail melalui kajian.
Jangan sampai kebijakan populis ini dianggap sempurna dan mematikan aktivitas study tour. Persoalan larangan study tour selama ini didasarkan pada dampak kecelakaan dan dampak ekonomi orang tua.
Kemampuan ekonomi orang tua atau wali murid memang beragam, tentu ini bisa diurai agar bisa dipetakan.
Melalui langkah pemetaan bisa diambil kebijakan apakah mau dilarang selamanya atau dicari solusi jalan tengahnya.
Misalnya boleh study tour, tapi dengan biaya sesuai kemampuan, tentukan objek yang benar-benar sesuai, safety di perjalanan perlu keterlibatan dinas terkait.
Carilah Solusi
Dengan demikian study tour bukan serta-merta dilarang, tapi dicari solusinya, ditemukan jalan tengahnya karena aktivitas ini memuat dampak positif yang luar biasa.
Siswa dapat mengeksplorasi objek yang dikunjungi dari berbagai aspek edukasi; meningkatkan omzet usaha mikro, kecil, dan menengah di objek wisata; menggairahkan industri transportasi; dan mengenalkan objek tertentu kepada masyarakat secara lus.
Kita perlu menyadari bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan objek, mengapa berkunjung dalam kerangka studi malah dilarang?
Study tour adalah bagian dari praksis menghargai daerah lain dengan cara mengunjungi langsung, bertegur sapa langsung dengan masyarakat lokal, mempelajati adat dan budayanya.
Ini yang lebih esensial sebagai bentuk penghargaan negara majemuk. Siswa membutuhkan penyegaran dan pembelajaran yang jofyull learning, mindfull learning, dan mendalam.
Mereka bisa melakukan itu ketika ada kegiatan outing class.
Toh, study tour itu bukan satu-satunya model pembelajaran, tapi fakta menunjukkan bahwa studi wisata menjadi salah satu model pembelajaran yang disukai siswa.
Persoalan keuangan orang tua memang kerap menjadi persoalan.
Mungkinkah study tour dibiayai oleh dana bantuan operasional sekolah atau BOS? Kita perlu tahu bahwa BOS digunakan untuk biaya operasional sekolah. Banyak hal yang mesti dibiayai dengan BOS.
Jika study tour seluruhnya dibiayai dana BOS, tentu tidak akan cukup.
Selain karena jeleknya manajemen dan transparansi pengelolaan, faktor ekonomi sebaiknya jadi pertimbangan.
Misalnya, orang tua siswa yang tidak mampu tentu saja jangan dipaksa ikut sehingga akhirnya terbebani. Ketika tidak ikut study tour, jangan kemudian membangun opini negatif terhadap study tour.
Jika hal tersebut dilakukan, tentu study tour akan baik-baik saja dari aspek manajemen pengelolaan. Kita memang tidak boleh abai terhadap aspek keamanan.
Beberapa kali kecelakaan terjadi dan turut membangun citra buruk berujung study tour itu perlu dilarang.
Kita perlu melihat ke belakang bahwa study tour sudah dilaksanakan bertahun-tahun. Mengapa baru sekarang dilarang?
Study tour menjadi model belajar yang kaya data, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan data.
Siswa bisa menginvetarisasi, menganalisis, melihat, mengobservasi, dan mengonstruksi objek melalui aneka dokumentasi dan bukti karya, misalnya video, foto, dan karya tulis yang bisa dipublikasikan.
Jangan abaikan manfaat yang begitu besar.
(Penulis: Tukijo/Artikel ini dimuat Espos.id pada 28 Maret 2025)