Radio Solopos — Awal masuk sekolah setelah libur panjang Idulfitri 2025, saya memulai pembelajaran di kelas dengan sebuah diskusi ringan bersama para siswa.
Seperti biasa saat berdiskusi, saya membuka ruang untuk saling berbagi cerita dan refleksi setelah menjalani ibadah puasa Ramadan.
Arah pembicaraan hari itu ternyata cukup mengagetkan saya. Seorang siswa dengan nada lirih, namun tajam, berkata, “Pak, Indonesia kayaknya sedang nggak baik-baik saja, ya?”
Kalimat itu kemudian menjadi pemantik obrolan yang lebih dalam. Satu per satu siswa mulai menyampaikan kegelisahan mereka tentang maraknya korupsi, praktik judi online, pinjaman online ilegal, dan penyalahgunaan narkoba yang kini mudah diakses remaja dan kaum muda.
Lebih menyedihkan lagi, beberapa dari mereka mengungkapkan kekecewaan bahwa praktik-praktik tersebut sering kali justru dibekingi oleh pejabat.
Banyak berita di media massa dan informasi di media sosial yang mereka temukan dan mereka baca menjelaskan keterlibatan para pejabat, bahkan pejabat tinggi lembaga penegak hukum, yang terlibat dalam praktik-praktik melanggar hukum tersebut.
Sebagai guru, hati saya miris mendengar keresahan itu, tetapi sekaligus saya merasa bersyukur. Mengapa? Karena mereka, anak-anak muda yang katanya generasi malas bergerak alias mager, ternyata peduli dan mendengarkan suara nurani.
Mereka melihat, berpikir, dan merasa bahwa ada yang tidak beres di negeri ini. Itu adalah awal yang baik, yaitu mereka memiliki rasa peduli.
Diskusi itu tidak saya akhiri dengan keluhan atau kecemasan semata. Saya ajak mereka menengok sejarah bangsa, khususnya pada tahun 1997—1998.
Saat itu, Indonesia dihantam krisis ekonomi parah, nilai tukar rupiah anjlok, daya beli masyarakat turun drastis, pemerintahan penuh tekanan, dan ketidakadilan begitu nyata. Dari keterpurukan itu, justru lahir kekuatan pendorong perubahan.
Para pemuda tampil ke depan, bersatu menyuarakan perubahan, dan berhasil mengguncang sistem yang timpang. Saya katakan kepada mereka,”Kalau dulu para pemuda bisa bangkit dari keterpurukan itu, maka kalian pun bisa.”
Kondisi hari ini memang berbeda, bentuk tantangannya tidak selalu berupa senjata atau krisis moneter, tapi krisis moral dan mental tak kalah berbahaya. Tantangan era sekarang tak kalah berat dengan era 1997—1998, bahkan pada sektor-sektor tertentu jauh lebih berat, korupsi misalnya.
Kini korupsi telah menjelma menjadi ”penguasa baru” di semua sektor kehidupan dan pengelolaan negara. Kasus yang baru saja dibongkar aparat penegak hukum, tentang suap kepada hakim di Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dianggap sebagai hanya puncak gunung es.
Dibutuhkan keberanian, kesadaran, serta kebersamaan untuk bisa menjawab tantangan zaman. Pemuda hari ini punya senjata yang jauh lebih kuat daripada generasi sebelumnya: teknologi, kreativitas, jaringan yang luas, serta akses pengetahuan tak terbatas.
Perubahan tidak harus selalu dimulai dengan turun ke jalan, tetapi bisa melalui ruang digital, karya literasi, gerakan sosial di komunitas, atau dengan menjadi teladan di lingkungan sekolah dan keluarga.
Saya ingin menegaskan kepada siswa-siswa saya dan kepada siapa pun yang mencintai negeri ini yaitu: jangan padamkan harapan. Jangan biarkan keputusasaan menang.
Bangsa ini pernah bangkit dari masa yang lebih gelap dan itu terjadi karena pemuda menolak diam. Mari kita warisi semangat gerakan reformasi 1998 dengan cara kita sendiri.
Mari kita jadikan momentum pasca-Ramadan ini sebagai titik tolak untuk membangun Indonesia yang lebih jujur, bersih, dan manusiawi. Kita pernah bisa dan kita pasti bisa lagi.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 April 2025. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMA ABBS Solo)