SoloposFM, Penurunan harga dan pembaruan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng oleh pemerintah beberapa waktu lalu ternyata tidak membuat seluruh masyarakat senang.
Sejumlah warga Kota Solo justru merasa terbebani dengan kebijakan tersebut karena praktiknya di lapangan terlalu banyak syarat untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai HET.
Pedagang di Pasar Gede mensyaratkan KTP untuk mendapatkan minyak goreng. Dengan syarat itu pun, pembelian dibatasi maksimal 18 liter. Padahal konsumen seperti penjual gorengan membutuhkan minyak dalam jumlah banyak. Ada juga pedagang yang mewajibkan konsumen membeli sabun,
Baca juga : Untuk Semua Perempuan di Indonesia, Yuk Eksplor Potensi Diri di Media Sosial dengan Empat Cara Ini
Sementara itu, Kepala Dinas Pedagangan Kota Solo, Heru Sunardi, dalam Dinamika, Kamis (10/3/2022) mengatakan pembelakuan sejumlah persyaratan bagi pembeli untuk mendapatkan minyak tidak dibenarkan.
Diakui Kepala Disdag Solo, Heru Sunardi, harga minyak goreng di pasar masih cukup tinggi, khususnya minyak goreng curah. Minyak goreng curah dibanderol Rp16 ribu per liter yang seharusnya Rp11.500 per liter.
Bulog bersama Dinas Perdagang (Disdag) Kota Solo pun mengadakan operasi pasar dengan menjual minyak goreng harga murah di sejumlah lokasi yang langsung diserbu warga.
Upaya Stabilkan Harga
Heru Sunardi memastikan stok minyak goreng di sejumlah pasar di Kota Solo ada walaupun terbatas. Namun harga di pasaran diakuinya masih cukup tinggi.
“Barang ada tapi sedikit harga tetap tinggi. Jadi pengusaha tidak boleh memanfaatkan dengan menjual harga diatas HET untuk cari keuntungan. Jangan sampai saat konsumen sulit mencari migor, malahan dibebani harga tinggi,” ungkapnya.
Dari operasi pasar yang sebelumnya dilakukan, Heru mengungkapkan jika droping ke pasar tidak efektif. Hal ini karena yang membeli adalah pemilik toko kelontong pasar.
“Mereka membeli di bawah HET tapi tetep menjual diatas harga pasaran untuk mendapatkan untung. Akhirnya OP kami geser langsung ke masyarakat. Terkait kuota minyak saat OP juga tergantung dari perusahaan yang bekerjasama. Berapa mereka mampu memasok,” paparnya lebih lanjut.
Dinas Perdagangan Solo juga telah koordinasi dengan Satgas Pangan Polresta Solo. Dari hasil sidak, ditemukan jika harga minyak goreng di pasaran masih cukup tinggi. Baik yang migor kemasan maupun curah.
Baca juga : Empat Alasan Kamu Harus Coba Scallion Sandwich ala Taiwan, Dijamin Bikin Nagih!
“Harga minyak curah yang biasa dimanfaatkan UMKM, harga juga masih mengkuti tingginya harga migor kemasan. Inilah tugas berat kami jelang Ramadhan harus menormalkan harga. Mengantisipasi peningkatan kebutuhan masyarakat akan bahan pokok kala Ramadhan dan jelang Lebaran,” jelas Heru.
Heru menghimbau pedagang agat tidak ambil kesempatan dengan menjual mingor dengan harga tinggi, sementara mereka kulakan dengan harga di bawah HET.
“Pedagang harus jual sesuai HET. Masyarakat yang sudah punya minyak goreng jangan nekat beli atau bahkan menimbun. Selain itu saat kami melakukan operasi pasar, mohon untuk tertib dan taat protokol kesehatan,” pungka Heru.
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika, Kamis (10/3/2022) Sobat Solopos kompak mengungkapkan operasi pasar tidak efektif dalam menurunkan harga dan menjamin ketersediaan minyak goreng. Berikut sejumlah opini mereka:
“Operasi pasar menurut saya tidak efektif, karena hanya untuk mereka yang punya uang dan waktu luang buat antri. Kenapa tidak di perbanyak ketersediannya, distribusi ke pedagang di pasar maupun di toko swalayan lancar, dan tidak di batas-batasi pasti bisa untuk satu harga. Jadi operasi pasar nya, buat sidak pedagang yang nakal. Begitu seharusnya menurut saya. Saat ini di warung harga perliter kembali Rp20 ribu. Dan untuk home industri, karena usaha ortu rambak, jadi butuh minyak goreng paling tidak 20 kg per hari, dan itu sulit. Aturan sekarang di langganan harus sama beli tepung pati 1 sak atau 25 kg, baru dapat minyak. Yang jadi masalah buat saya terkadang uangnya tidak cukup buat beli itu, karena modal terbatas. Jadi sungguh sangat menyulitkan usaha kecil saat ini,” ungkap Nur Syamsiah.
“Kenapa minyak goreng sampai langka di pasaran? Pasti ulah para kapitalis dan pemilik uang lebih. Hukum pasar di rusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Negara kalah dengan oknum yang kemaruk duniawi,” tulis Sriyatmo.
“Saya menduga masyarakat juga berperan dalam menimbulkan kelangkaan ini. Kalo dulu cukup beli 1 atau 2 liter, sekarang banyak yang menimbun 4 atau 5 liter per keluarga di rumah. Bayangkan kala mayoritas masyarakat melakukannya, maka berapa ton pun yang digelontorkan akan terus kurang,” Dwi.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]