Radio Solopos — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mewacanakan vasektomi atau kontrasepsi permanen bagi laki-laki menjadi syarat yang harus dipenuhi warga agar terdaftar dalam penerima bantuan sosial (bansos) di provinsi itu.
Hal tersebut memicu kontroversi, salah satunya tentang mengapa negara sampai mengatur ranah privat rakyat. Pasal 34 UUD 1945 mengatur kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak telantar sebagai wujud implementasi sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kewajiban tersebut tak boleh ditukar dengan syarat pengaturan atas otoritas tubuh seseorang.
Penerimaan bantuan sosial diatur sebagai hak mendasar warga negara yang diamanatkan konstitusi dan undang‑undang, bukan instrumen untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk
Hal apapun yang dilakukan pada tubuh adalah hak asasi manusia. Pemaksaan adalah pelanggaran hak asasi.
Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights menyatakan setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya.
Di dalamnya termasuk hak atas sandang, pangan, papan, hak atas pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang diperlukan. Dalam Pasal 28 H ke-3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diatur setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Artinya, syarat vasektomi atau bentuk kontrasepsi lain sebagai syarat mengakses bantuan sosial bisa dikatakan sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia. Setiap individu berhak memilih menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Setiap orang juga memiliki hak menentukan jumlah anak yang diinginkan dan kapan akan memiliki anak. Pemaksaan atas keduanya untuk ditukar bantuan sosial adalah menyalahgunakan kerentanan seseorang yang berada dalam kemiskinan.
Kebijakan itu sudah pasti menyasar kelompok miskin dan marginal yang semakin menebalkan stigma bahwa apabila sudah miskin tak seharusnya memiliki anak.
Tanpa perlu menambah syarat, pemerintah sudah memiliki sejumlah regulasi bagi masyarakat miskin untuk mengakses bantuan sosial. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin menyatakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi acuan utama pemerintah pusat dan daerah dalam menyalurkan bantuan sosial.
Dari DTKS tersebut, pemberian bantuan sosial melalui tahapan seleksi, termasuk pembagian kelompok masyarakat mana saja yang bisa mengakses jenis bantuan yang diberikan pemerintah.
Berdasarkan aturan tersebut masih tetap ada kelompok masyarakat miskin yang belum terkaver pada detail syarat dalam DTKS, terlebih apabila aturan tentang keluarga berencana (KB) menjadi salah satu syarat tambahan.
Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi telah diatur dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-undang ini menyatakan bahwa memaksakan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
Pasal 8 Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksi untuk sementara waktu, akan dipidana karena penggunaan alat kontrasepsi.
Ancaman pidana bagi pelaku pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi adalah penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Pasal 9 Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, akan dipidana karena pemaksaan sterilisasi.
Ancaman pidana bagi pelaku pemaksaan sterilisasi yaitu penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. Artinya, sebelum mewacanakan tambahan regulasi, sebaiknya mengambil langkah bijak untuk menangani kemiskinan.
Misalnya, perluas lapangan pekerjaan hingga peningkatan upah. Jika tetap ingin mengendalikan jumlah penduduk, tak perlu menukar program KB dengan akses ke bantuan sosial.
Pemerintah bisa menggencarkan sosialisasi, mengintensifkan edukasi kepada warga, membangun kesadaran akan perencanaan kehamilan, atau mempermudah akses ke alat kontrasepsi hingga menggratiskan.
Tugas pemerintah hanya sebatas itu. Mengatur ranah privat hingga menukar dengan kewajiban negara menyejahterakan rakyat adalah pelanggaran atas hak asasi manusia.
( Mariyana Ricky P.D/ Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Mei 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)