SoloposFM – Kekerasan yang terjadi di kediaman Almarhum Habib Segaf Aljufri, Mertodranan Solo, pada Sabtu malam, 8 Agustus 2020 menjadi peristiwa buruk bagi perempuan di wilayah Solo Raya, tak hanya bagi korban. Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan, yang terdiri dari berbagai elemen baik komunitas agama/lintas agama, CSO lokal/ nasional, akademisi dan individu, tergerak untuk menyuarakan dan melakukan Gerakan Anti Kekerasan, untuk melindungi perempuan dan anak, karena melihat dalam kasus penyerangan ini, para korban yang terdiri dari perempuan dan anak belum diperhitungkan sebagai korban. Tercatat, pada saat kejadian ada 16 perempuan dan 6 orang anak (balita dan remaja), dan sebagian dari mereka mengalami trauma psikologis paska intimidasi.
Bagi Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan, peristiwa ini mengingatkan pada kejadian kejadian kekerasan yang terjadi sebelumnya, termasuk memori kolektif tahun 1998. Menurut mereka, perlindungan terhadap kelompok minoritas dan terutama perempuan dan anak, hampir selalu tak dihitung dan dilihat sebagai korban.
Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan menilai peristiwa intimidasi dan pembubaran paksa acara Midodareni di kediaman Almarhum Habib Segaf Aljufri, Mertodranan Solo tersebut menunjukkan secara nyata bahwa perempuan jarang diperhitungkan sebagai korban, dalam peristiwa kekerasan. Korban dalam definisi media dan umum, selalu dilihat sebagai orang yang terluka secara fisik dan dalam kasus ini, utamanya adalah korban lelaki dewasa. Padahal dalam peristiwa semalam, lebih banyak perempuan dan anak anak didalam rumah yang melihat peristiwa kekerasan tersebut terjadi.
Meski demikian, mereka dapat mengapresiasi upaya perlindungan yang telah dilakukan oleh aparat, meskipun dinilai belum maksimal. Para korban, terutama perempuan dan anak, baru bisa keluar dari rumah (TKP) setelah lepas malam. Tentu ini memberi perasaan traumatic dan ketakukan yang lebih dan tak mudah dihilangkan dalam memori mereka. Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan juga melihat bahwa acara midodareni adalah upacara yang penting bagi seorang perempuan untuk memulai kehidupan mandirinya. Dalam konteks anthropologis, upacara midodareni adalah peristiwa ritual sebelum pernikahan, dimana perempuan akan menjadi mandiri untuk membangun keluarga baru sebagai unit sosial terkecil. Apa yang akan terjadi jika pembentukan keluarga sebagai unit sosial dimulai dari trauma dan kecemasan. Mereka melihat peristiwa tersebut, telah mengubah tradisi perayaan penuh doa menjadi kesedihan dan traumatic bagi perempuan.
Dalam pernyataan sikap yang diterima Solopos FM, Senin (10/08), Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan, menyatakan memberikan dukungan moral dan solidaritas, bagi para korban, utamanya perempuan dan anak yang berada didalam rumah. Mereka menyayangkan hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian terkait jumlahnya. Tetapi beredar informasi bahwa semasa kejadian, setidaknya ada 3 anak balita dan 3 anak remaja yang salah satunya menjadi korban pemukulan serta 16 perempuan. Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan juga menuntut agar pemerintah, melalui pihak terkait, memberi pendampingan pemulihan trauma (trauma healing) bagi para korban. Selain itu, Aliansi Perempuan Solo Anti Kekerasan juga menuntut kepada pihak berwajib, untuk menemukan otak pelaku dan memberi hukuman yang sesuai karena tindakan mereka telah menyebarkan ketakutan tak hanya bagi keluarga korban, tetapi menimbulkan keresahan berlebih bagi perempuan dan anak di komunitas komunitas minoritas yang lainnya.
Aliansi Perempuan Solo Anti kekerasan juga secara tegas menolak apapun bentuk kekerasan baik atas nama agama, ras dan suku dan terlebih atas nama kebencian kepada kelompok kelompok tertentu.
[Diunggah oleh Mita Kusuma]