SoloposFM, Tahukah Sobat Solopos, Hari Musik Sedunia diperingati setiap tanggal 21 Juni. Hari Musik Sedunia (World Music Day) atau disebut juga La Fête de la Musique merupakan festival musik yang dirayakan setiap tanggal 21 Juni untuk menghormati musisi di seluruh dunia.
Hari Musik Sedunia digagas pertama kali oleh seorang pemusik bernama Joel Cohen asal Amerika, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Maurice Fleuret sehingga dipatenkan oleh UNESCO.
Baca juga : Musik Daur Ulang : I Have a Dream, Sang Pemimpi yang Terus Berusaha
Mendengarkan musik atau lagu mungkin sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Tak hanya sebagai hiburan, mendengarkan lagu juga memiliki beragam manfaat untuk kesehatan, seperti membuat tubuh menjadi lebih rileks dan bahagia. Tentu saja, hal ini tak lepas dari irama atau lirik lagu yang kuat.
Lirik lagu menjadi salah satu faktor penentu dalam kesuksesan dalam sebuah lagu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lirik lagu merupakan karya puisi yang dinyanyikan. Bentuk ekspresi emotif tersebut diwujudkan dalam bunyi dan kata.
Kualitas Lirik Lagu
Seperti yang sudah diketahui, lirik menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah lagu. Bahkan, meski memiliki melodi yang indah, namun jika lirik suatu lagu tidak bagus, tentu hal ini bisa merusak lagu secara keseluruhan.
Baca juga : Tak Sabar! Pendengar Solopos FM Ingin Segera Coba Bus Listrik
Saat ini, sering kita dengar sejumlah lirik yang tidak sesuai jika didengarkan seluruh jenjang usia. Ada lagu yang terselip umpatan, hingga terdapat kata-kata vulgar. Hal ini tentu akan berpengaruh bagi pendengarnya, apalagi jika anak-anak sampai hafal liriknya.
Iga Mawarni, penyanyi senior dan aktivis di Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta dan Rekaman Musik Indonesia (PAPPRI), dalam program Dinamika, Senin (21/06/2021), mengakui jika saat ini anak muda paling intensif memanfaatkan teknologi. Hal ini berpengaruh pada etika di musik karyanya, diantaranya lirik.
“Era musik tercermin dari liriknya. Dari liriknya kita langsung bisa tahu dari era apa dibuat. Sekarang sudah crossover era digital, tak lagi bisa memantau. Orang bisa upload dengan mudah tanpa screening lagi. Tidak ada lagi filternya,” ungkap musisi senior ini.
Menurutnya, di komunitas musik selalu ada upaya untuk menghimbau penerapan etik dalam membuat lirik lagu. Namun Iga mengakui, pihaknya tidak bisa secara keras melarang, hanya berupa menghimbauan saja. Komunitas musisi juga tidak bisa memantau satu persatu.
“Disinilah peran masyarakat dalam memantaunya di media sosial. Netizen Indonesia itu terkenal loyalitasnya tinggi. Mereka bisa me-report dan megevaluasi, jika menemuka lirik yang tidak beretika. Seperti kita tahu, jika sudah viral, penindakannya akan cepat. Jadi netizen, gunakanlah kekuatannya untuk fungsi control!” pungkas Iga.
Opini Pendengar Solopos FM
Hasil polling SoloposFM, pada program Dinamika, Senin (21/06/2021), seluruh peserta polling sepakat jika menulis lagu harus beretika liriknya.
Berikut sejumlah opini mereka:
“Selamat hari musik internasional 2021. Hidup tanpa musik bagai hidup tanpa irama,” ungkap Sriyatmo.
“Soal menulis lirik lagu, saya sepakat pakai etika. Kalau kemudian ada yang bilang seni adalah seni yang ditegaskan dengan asal berkarya dan laku dipasaran, itu hak masing-masing ya. Tapi tetep pada akhirnya yang selalu melekat adalah yang beretika.
Boleh disebut Ebiet, dan Seila On7. Lirik mereka melekat bahkan legen sampai sekarang,” ungkap Uni di Solo.
“Etika dan tentunya lirik lagu punya isi dan makna yang mau di sampaikan oleh pencipta lagu untuk disampaikan kepada pendengar/masyarakat yang mendengarkan. Saya lebih suka lirik lagu/musik tempo dulu yang betul-betul ada makna dan isi di balik lirik lagu. Seperti lagunya Mas Ebiet G.Ade tetang alam, Iwan Fals yang kritik DPR, pemerintah dan fakta dialami masyarakat. Kalau sekarang banyak yang tidak seseuai etika misal ada orang yang buat musik tiktok agar terkenal. Lagu era 70 sd 90an mudah dihafal dan tetap enak didengarkan hingga kini,” papar Priyanto.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]