SoloposFM, Sejumlah kritik masyarakat berupa coretan di tembok jalanan seperti mural maupun grafiti marak ditindak aparat pemerintah. Diketahui coretan bertema protes, sindiran, atau kritik kepada pemerintah bermunculan di sudut Kota Solo dalam sepekan terakhir.
Beberapa karya seni yang akhirnya dihapus itu umumnya berisi kritik terhadap pemerintah maupun ungkapan kegelisahan para seniman selama pandemi Covid-19. Coretan coretan tersebut telah menghilang di balik lapisan cat anyar.
Di antaranya coretan berbunyi “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan “Indonesiaku Lagi Sakit Pray for PKL di sekitar Pasar Legi. Ada pula coretan. “Negaraku Minus Nurani, #RIP Pemerintah” di JL. Kusumoyudan, Setabelan, Kecamatan Banjarsari. Pantauan Solopos, Selasa (24/8/2021) siang, mural tersebut sudah dicat ulang, padahal sehari sebelumnya masih ada.
Baca juga : Uji Coba Pembukaan Mal, APPBI Solo : Kami Siap Dengan Prokes Ketat!
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, mengaku bakal menertibkan coretan-coretan tersebut. Dia meminta warga yang ingin menyampaikan aspirasi terkait kebijakan kesehatan di Kota Bengawan segera langsung menemui dirinya.
Pandangan Sosiolog
Anhar Widodo, Sosiolog Budaya Dari ISI Surakarta, dalam Dinamika 103 SoloposFM, Kamis (26/8/2021), menilai aksi ini adalah media ekspresi karena kekecewaan yang sudah terakumulasi. Mural hanya salah satu dari media untuk berekspresi di saat ruang-ruang berekspresi makin dibatasi, salah satunya UU ITE.
“Dari sudut pandang sosial adalah akumulasi kekecewaan yang sudah berat. Orang tersebut merasa kecewa karena pemerintah dinilai sewenang-wenang, misalkan PPKM menurut dia. Saluran komunikasinya mungkin dirasa sudah mentok. Makanya diluapkan di fasilitas publik atau properti orang lain. Lha ini yang melanggar, karena propertinya milik orang lain,” ungkap Anhar.
Anhar menilai efek spontanitas ini akan jadi isu yang masif. Hal ini terlihat dari maraknya mural dan grafiti di berbagai daerah, tak hanya di Solo. Sehingga harus ada komunikasi yang intens antara pemangku kebijakan dengan masyarakat yang terdampak.
“Upaya komunikasi yang dilakukan Mas Gibran (Walikota Solo) saya rasa sudah tepat. Dimana dia minta masyarakat yang memiliki aspiras untuk menyampaikan kepadanya, baik via surat, ataupun slauran laporan yang sudah dia buat di sosial media,” pungaks Anhar.
Baca juga : Penutupan Jalan Juanda Solo, Dishub : Atur Ulang Rute, Waktu Dan Moda!
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika 103 SoloposFM, Kamis (26/8/2021), sebesar 60% Sobat Solopos mengaku tidka sepakat jika aspirasi atau protes diwujudkan dalam bentuk mural atau grafiti di tempat umum. Sedangkan 40% persen sisanya mengaku penyaluran aspirasi via mural atau grafiti wajar jika dilakukan.
Berikut sejumlah opini Sobat Solopos:
“Menurut saya wajar karena pengritik tidak dikasih ruang. Ngritik medsos takut ditangkap. Karena dia bisanya ngritik lewat seni, ya sangat wajar dilakukan,” ungkap Mudhowati.
‘Tidak setuju,” ungkap Ahmad.
“Setuju. Mural bisa menjadi sarana protes,” tulis Ragil.
“Bukan saluran komunikasi yng terhambat tpi karena pelaku mural bisanya hanya bikin corat coret. Paling pelaku kagetan saja,” ungkap Aries.
“Saya nggak setuju. Alangkah baiknya kalau ada keluhan, kritik kepada Pemerintah baik itu kepala daerah sd Presiden sekalipun dikirim langsung via surat atau bisa disampaikan lewat WA atau IG kepala daerah yng bersangkutan. Pasti ada tanggapan/respon dari mereka. Kritik lewat mural malah mengotori dinding yang di cat tersebut. Menurut saya yang buat mural ini nggak gentel/sportif,” papar Priyanto.
“Setuju, karena hanya lewat coretan yang bisa menyampaikan pesan (bagi orang kecil) walau pesan itu tak sampai/atau tak didengar oleh penguasa,” ungkap Sutrisno.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]