SoloposFM, Jika berbicara tentang biaya hidup, sebagian besar orang mungkin akan menjawab kota besar seperti Semarang, Solo, Salatiga atau malah daerah terpencil seperti Temanggung dan Banjarnegara memiliki biaya hidup yang lebih mahal.
Tinggi atau rendahnya biaya hidup di suatu daerah sebenarnya disebabkan oleh beragam faktor. Faktor utama adalah kondisi wilayah tersebut. Semakin ramai suatu wilayah, maka biaya hidup akan melonjak. Lantas, di manakah kota dengan biaya hidup termahal di Jawa Tengah?
Berdasarkan data Jawa Tengah dalam Angka 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip Solopos.com, Selasa (10/5/2022), pengeluaran rata-rata perkapita penduduk Jawa Tengah selama sebulan menurut kelompok makanan pada 2021 sebesar Rp519.009.
Sedangkan pengeluaran perkapita menurut kelompok non makanan sebesar Ro529.600. Jika dijumlahkan, maka total pengeluaran penduduk Jawa Tengah selama sebulan rata-rata sebesar Rp1.048.609.
Berdasarkan data BPS, Kota Semarang menempati urutan pertama wilayah dengan rata-rata pengeluaran per kapita tertinggi di Jawa Tengah. Urutan kedua hingga lima berturut-turut adalah Kota Salatiga, Kota Solo, Kota Tegal, dan Kota Magelang. Kota Semarang bahkan masuk daftar kota dengan biaya hidup termahal nomor lima di Indonesia.
Rata-rata jumlah pengeluaran paling besar penduduk kota di Jawa Tengah bukan pada konsumsi makanan. Melainkan pada kelompok non makanan yang meliputi belanja pakaian, bahan bakar minyak, perangkat elektronik, dan jasa lainnya.
Baca juga : Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H/2022
Tergantung kondisi wilayah
Rina Herlina Haryanti, pengamat sosial dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS dalam Dinamika Kamis (12/5/2022) mengungkapkan biaya hidup terdiri atas konsumsi makanan dan non makanan.
“Di Solo yang tinggi bukan dari makanan tapi non makanan. Pulsa elekronik pakaian dan transportasi. Jadi sangat tergantung kondisi wilayah serta jumlah penduduk. Solo sekarang mallnya banyak, café banyak, barang branded banyak di mall, tentu harga menyesuaikan sehingga terkesannya jadi lebih mahal,” papar Rina.
Ia melanjutkan jika pandemi juga mempengaruhi konsumsi masyarakat. Yaitu dengan kebutuhan kuota elektronik untuk kerja dan sekolah dari rumah. Untuk itu Rina meminta masyarakat mulai bijak mengatur keuangan, dengan menaikkan alokasi tabungannya.
“Naiknya konsumsi sebenarnya adalah trend poistif yang bisa menaikkan UMK. Hal ini juga menjadi kesempatan emas orang Solo untuk buka usaha dan menarik pangsa pasar ke Solo. Namun orang Solo tetap mempertahankan gaya hidup, kearifan local yang sederhana. Harus bisa memfilter gaya hidup yang bukan orang Solo,” pungkas Rina.
Baca juga : Mengurangi Kepadatan Arus Mudik dan Balik Lebaran
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika Kamis (12/5/2022) Sobat Solopos mengungkapkan sejumlah opininya. Berikut opini mereka dan juga hasil poling di Instagram SoloposFM @SoloposFMSolo :
“Biaya hidup di Solo mahal? Masa sih? Menurut saya, relatif. Kalau hidup mengikuti ‘gaya’, jelas tinggi biayanya. Tapi kalau berani seadanya, murah sebetulnya. Emang iya semua kebutuhan pokok melonjak. Tapi di tempat saya, nasi kucing tetep 2k. Murah meriah kan?” papar Unie.
“Kalau saya Solo iku paling murah cocok rasanya untuk semua makan. Memang tergantung dimana tempatnya. Kalau di RM besar memang aduhai harganya,” tulis Mudhowati.
“Kalo urusan makan, di Solo itu masih relatif murah, kalau mau makannya seadanya. Tidak makan di resto yang punya nama. Kalau makannya di tempat wedangan/hik/angkringan sederhana itu juga masih murah. Kalau masalah transportasi bis/angkot batik, itu masih murah dan juga gratis. Soalnya kita yang belum punya kartu tempelnya itu kita naiknya jadi gratis,” papar Agus.
“Pengalaman saya hidup di Jakarta 30 th, di Solo 4th, Solo termasuk murah untuk makanan. Gendar pecel 3rb, Soto sekitar 5rb, gorengan 3bh/2rb. Yang mahal di Solo untuk medical treament bagi yang non BPJS seperti saya. Contoh saya kena Demam Berdarah rata2 3jt/hari di RS Solo. Dokter gigi 350-400rb per tindakan,” ungkap Abas.
“Memang betul, mahal murahnya biaya hidup tergantung gaya hidup individu masing-masing. Tapi saat ini memang untuk biaya konsumsi ada kenaikan, baik harga makan maupun kos-kosan. Malah menurut saya lebih murah beli makanan matang daripada masak sendiri,” ungkap Nur Syamsiah.
“Menurut saya biaya hidup di kota Solo masih murah dengan uang Rp10.000 saja sudah kenyang. Asal tidak ngikuti gaya hidup. Bahkan kakak ipar yang dari Jakarta nggak percaya makan nasi liwet 8 orang nggak sampai Rp300.000. Bahkan setiap ada event kuliner yang diadakan mall pasti ramai pengunjung sampai tempat duduk tidak mampu menampung pembeli meskipun makanan yang dijual kebanyakan makan kesenian 1 porsi minimal Rp20.000. Saat saya jualan di bulan Ramadhan kebanyakan masyarakat pada umumnya cari makanan dan minuman yang banyak, murah & enak tapi tidak melihat bahan-bahan yang dipakai apa itu baik untuk kesehatan,” tulis Priyanto.