Radio Solopos — Beberapa hari yang lalu sepeda motor saya kehabisan bahan bakar minyak (BBM) di Solo. Konyol memang. Saya tidak mengecek kondisi tangki sebelum berangkat sementara indikator BBM di sepeda motor memang sudah lama rusak. Beberapa langkah setelah menuntun sepeda motor saya berhenti.
Otak saya secara spontan mengarahkan untuk tahu di mana penjual BBM eceran terdekat. Yang saya tahu, SPBU berjarak sekitar 1 km dari tempat saya saat itu. Menuntun sepeda motor sejauh itu tentu akan sangat melelahkan. Teori Stephen R. Covey di buku populernya The 8th Habit (8 Kebiasaan Dasar Manusia) menyebutkan bahwa tanpa peta dan arah, langkah kuat Anda hanya akan mempercepat sampai ke tempat yang salah.
Berjarak puluhan meter di depan saya, ada sebuah warung hik yang penuh pembeli. Riuh tawa khas bapak-bapak ketika berkumpul terdengar. Mereka bercanda bebas menertawakan sulitnya ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
Begitu saya menyapa mereka merespons ramah. Tahu saya kehabisan bensin mereka langsung memberi informasi penting tentang lokasi penjualan bensin eceran terdekat. Jaraknya sekitar 300 meter dari jalan di sisi kiri tempat kami mengobrol.
Informasi yang sangat berharga, saya tak perlu ngos-ngosan jauh lagi. Salah satu pengunjung hik berjaket ojek online (ojol) bahkan menawarkan sepeda motornya untuk dipakai membeli bensin. Tawaran baik itu saya tolak halus. Kebetulan memang tempat penjual BBM yang mereka maksud satu jalur dengan arah saya pulang. Saya memilih melanjutkan menuntun sepeda motor hingga 300 meter ke depan dibandingkan merepotkannya.
Ini bukan kali pertama saya ketemu orang baik. Dulu beberapa kali saya “disetut” orang di jalan ketika sepeda motor mogok atau kehabisan bensin. Setut adalah istilah untuk mendorong kendaraan memakai kaki oleh orang yang mengendarai sepeda motor yang lain.
Pernah juga dompet saya jatuh di jalan. Sejam setelah itu ketika saya sedang bingung menyusuri jalan ada telepon dari kantor, mengabari ada orang menelepon telah menemukan dompet saya di jalan. Memang di dompet itu ada identitas saya dan kartu nama.
Seingat saya dua kali saya mengalami kejadian seperti ini. Saya menyebut mereka orang baik karena uang di dompet saya juga utuh. Saya percaya selalu ada orang baik di sekitar kita. Meski yang jahat lebih terasa karena berisik. Kasus dompet kembali utuh mungkin menjadi kisah yang sedikit dibandingkan yang hilang, apalagi jika isinya benda berharga seperti uang.
Akademisi UIN Malang, Imam Suprayogo menyebut orang baik selalu ada di tengah masyarakat seberapa buruknya lingkungan di mana orang-orang itu tinggal. Ia mendefinisikan orang baik adalah pribadi yang jujur, ikhlas, sabar, pintar, pekerja keras, bertanggung jawab, peduli sesamanya, dan sebagainya.
Menurutnya, orang yang mampu dan berhasil menjaga diri seperti itu bisa ditemukan di mana-mana.
“Oleh karena itu tidak terlalu benar jika dikatakan bahwa pada saat sekarang ini sedang krisis orang baik,” tulisnya dalam salah satu jurnal yang dimuat di laman https://uin-malang.ac.id.
Imam menyebut, masyarakat selalu membutuhkan kehidupan yang damai, tenteram, adil, dan sebaliknya jauh dari hal-hal yang mengganggu dan atau merusaknya. Orang baik dan mampu berbuat baik dianggap selalu peduli dan bisa memenuhi kebutuhan dimaksud.
Tetapi ia mengakui, orang baik belum tentu mampu berbuat baik dan apalagi, menang bersaing dengan orang yang tidak baik. “Orang baik kadang kala harus bersaing dengan orang-orang buruk di sekitarnya. Dan kadang ia kalah,” kata dia.
Dalam agama Islam yang saya anut, kebaikan selalu menjadi seruan dari setiap tingkah laku. Dalam bahasa Arab, ada banyak kosa kata yang maknanya merujuk kepada kebaikan, seperti “al-khair”, “al-hasanah”, “al-ma’ruf”, dan “al-birr”. Di antara keempat kata tersebut, al-birr adalah induk seluruh kebaikan. Abu Manshur dalam kamus Lisanul Arab menyebut al-birr adalah kebaikan dunia dan akhirat. IbnuAbbas berkata, “Bukanlah kebajikan itu bila kalian salat dan tidak beramal (yang lainnya).
Tesis Orang Baik
Beberapa waktu terakhir dinamika politik Indonesia memanas terkait dengan persiapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Dipicu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Pilkada yang membuat putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep terganjal ikut kontestasi, massa turun ke jalan setelah DPR mengabaikan putusan tersebut dan memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan peraturan KPU beberapa waktu sebelumnya.
Perbedaan krusial putusan MK dan MA adalah soal pengesahan umur 30 tahun bagi kontestan. Menurut MK, umur 30 dimulai ketika kandidat mendaftar sedangkan MA memutuskan ketika calon terpilih dilantik. Derasnya aksi massa membuat DPR gagal menggelar rapat paripurna revisi RUU Pilkada hingga akhirnya putusan MK yang berlaku untuk Pilkada serentak pada November 2024 mendatang.
Presiden Joko Widodo mendapatkan kritikan tajam karena dianggap cawe-cawe dengan kekisruhan ini. Kritikan ini menjadi lanjutan dari kericuhan serupa saat MK membuat putusan yang membuat kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka berhasil mengikuti Pilpres 2024 sebagai cawapres Prabowo Subianto. Pasangan Prabowo-Gibran akhirnya terpilih sebagai pemimpin negeri ini untuk lima tahun mendatang.
Tajuk Rencana Tempo menulis tentang Runtuhnya Tesis Orang Baik, yang ditujukan untuk Presiden Jokowi atas memanasnya perpolitikan Tanah Air beberapa waktu terakhir. Jokowi dianggap mengangkangi hukum demi memaksakan kehendak politiknya. Tentu saja tudingan itu dibantah keras Jokowi. Mantan Wali Kota Solo itu menyebut dirinya tidak ikut cawe-cawe dalam polemik di DPR. Ia juga membantah menghalalkan segala cara agar anaknya mendapatkan jabatan politik.
Saya tidak ingin larut dalam perdebatan politik ini. Jujur intrik-intrik di dunia perpolitikan Tanah air bikin muak. Tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Yang abadi selalu kepentingan. Tulisan ini hanya ingin mengajak Anda berefleksi diri seperti di awal tulisan, bahwa masih ada banyak orang baik di sekitar kita. Yang tulus berbuat untuk sesamanya. Yang tidak ada manipulasi ketika beraktivitas.
Mengutip tulisan Imam Suprayogo di atas, orang baik adalah pribadi yang jujur dan ikhlas untuk sesamanya. Waktu yang akan membuktikan apakah seseorang itu jujur dan ikhlas berbuat untuk sesamanya.
Seperti kata Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, untuk mengetahui karakter asli seseorang berilah ia kekuasaan. Jika di akhir kekuasaan masih sama dengan sebelumnya maka seseorang tersebut memang jujur dan tulus.
“Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan,” kata Abraham Lincoln.
Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk menjadi orang baik, yang tulus dan ikhlas berbuat demi sesama. Petuah bijak mengatakan jika kita tidak bisa menemukan orang baik, jadilah orang baik itu. Menjadi orang baik tidak butuh intelektualitas tinggi. Cukup dengan mengikuti suara hati. Setiap manusia diberi Tuhan hati nurani yang akan menuntunnya ke arah kebaikan. Seperti kata Vincent Van Gogh, hati nurani adalah kompas seseorang.
(Artikel karya Abu Nadzib telah termuat di Espos.id pada 5 September 2024)