Radio Solopos — Setelah kegaduhan akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pembolehan kepala daerah berusia di bawah 40 tahun ikut Pemilu Presiden (Pilpres) mereda, publik kembali dibuat gaduh dengan format debat calon presiden-calon wakil presiden untuk Pilpres 2024.
Berbeda dengan Pilpres 2019, KPU memutuskan pada Pilpres 2024 pasangan capres-cawapres hadir bersamaan dalam acara debat yang digelar sebanyak lima kali mulai 12 Desember 2023 mendatang.
KPU beralasan, format baru dimaksudkan agar publik mengetahui kerja sama antara capres dengan cawapresnya. KPU akan memberikan proporsi waktu yang berbeda kepada capres dan cawapres untuk berbicara. Ketika debat capres, porsi capres untuk bicara akan lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, capres akan sedikit bicara saat sesi debat cawapres.
Format baru ini langsung direaksi keras sejumlah kalangan, utamanya dari kubu Ganjar Pranowo-Mahfud Md. dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Mereka beranggapan format baru itu untuk menyelamatkan cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming Raka yang dinilai masih sangat mentah dengan persoalan bangsa. Pendapat serupa dilontarkan beberapa pengamat politik. KPU dituding condong kepada salah satu pasangan.
Debat capres-cawapres diatur dalam dalam Pasal 277 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pasal tersebut disebutkan debat capres-cawapres dilaksanakan selama lima kali. Aturan teknis tentang debat diatur dalam Pasal 50 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023, bahwa capres mendapatkan kesempatan tiga kali debat sedangkan cawapres dua kali.
Dalam PKPU tersebut memang tidak disebut debat capres dan cawapres dilakukan terpisah, meskipun pada Pilpres 2019 semua sepakat bahwa tafsir Pasal 50 tersebut adalah capres dan cawapres berdebat dalam waktu yang berbeda.
KPU harus belajar dari kasus MK. Kepercayaan publik terhadap MK nyaris runtuh setelah putusan yang meloloskan Gibran sebagai cawapres. Majelis Kehormatan MK datang sebagai dewa penyelamat dengan mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Jika KPU benar-benar netral dan tidak condong kepada salah satu pasangan seharusnya tidak perlu membuat tafsir baru yang memantik kontroversi.
Kehendak KPU menafsirkan dan mengubah format debat justru berujung kegaduhan dan tafsir-tafsir politik yang berimbas merugikan aspek kepercayaan publik kepada KPU.
Nelson Mandela pernah mengatakan seorang pemimpin yang baik dapat berdebat dengan terus terang dan tidak setengah-setengah.
Debat dalam tahapan Pilpres sangat penting. Ini harus dijadikan ”tradisi” dalam pemilu kita. Kenapa? Karena publik akan tahu seberapa kualitas cawapres yang akan mereka pilih. Wakil presiden bukan ban serep. Sebab jika ada keadaan darurat pada presiden, wapres lah yang harus tampil ke depan. Konstitusi mengatur jika presiden berhalangan tetap (sakit atau meninggal) maka wapres yang akan menggantikannya memimpin negara.
Perhitungan praksis-politis bahwa debat tak memengaruhi elektabilitas tidak boleh menjadi alasan meniadakan debat atau meniadakan substansi debat—dengan mengubah format debat yang telah berjalan baik.
Debat adalah bagian dari ikhtiar mendewasakan demokrasi. Kelak ketika bangsa ini telah benar-benar cerdas dan demokrasi berjalan baik, debat kandidat pemimpin akan menjadi elemen penting menentukan pilihan bagi para pemilih.
(Artikel karya Abu Nadzib ini telah dimuat di Espos.id pada 6 Desember 2023)