Radio Solopos — Kabar Kaesang Pangarep bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menurut saya, menegaskan sinyalemen hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tak seakur yang sering diklaim petinggi PDIP.
Apalagi, Jokowi mengakui sudah memberi restu kepada anak bungsunya itu bergabung ke PSI.
Publik tahu, selama ini hubungan PSI dan PDIP tidak baik-baik saja. PDIP menganggap PSI sebagai pendatang baru yang berisik. Jika di sepak bola, hubungan kedua partai ini kira-kira Manchester United dan Manchester City, tetangga yang saling menuding berisik.
Terlebih untuk Pilpres 2024, PSI sudah berada di barisan koalisi Gerindra yang mengusung bakal capres Prabowo Subianto. Jika kemudian Kaesang bergabung –bahkan isu lanjutan yang berkembang dia menjadi Ketum PSI — menjadikan Jokowi tidak berada di jalan yang selurus dengan Megawati. Sinyal-sinyal kuat dukungan Jokowi untuk Prabowo tak bisa dimungkiri meskipun kode-kode politik serupa juga dilontarkan Jokowi untuk bakal capres PDIP, Ganjar Pranowo.
Banyak pengamat bilang, gesture tubuh Jokowi dalam sejumlah kegiatan PDIP memperlihatkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak nyaman. Label sebagai petugas partai sepertinya membuat Jokowi yang notabene orang nomor satu di Indonesia itu terbebani.
Gesture tubuh Jokowi sangat berbeda saat dirinya menghadiri sejumlah kegiatan partai lain dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI. Di beberapa kegiatan partai di luar PDIP itu, Jokowi yang diusung partai banteng sejak awal meniti karier politik sebagai Wali Kota Solo tahun 2005, terlihat sangat enjoy. Tawanya lepas.
Saya melihat hal ini sebagai sesuatu yang wajar karena dalam kegiatan di luar PDIP itu posisi Jokowi unggul. Dia benar-benar sebagai Kepala Negara dan tidak ada embel-embel petugas partai.
Tidak (begitu) akurnya hubungan Jokowi-Megawati sebenarnya juga terefleksi dalam sikap dua anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Gibran beberapa kali membuat gerah petinggi PDIP karena menjamu rival Ganjar Pranowo di Pilpres 2024, Prabowo Subianto. Bantahan Gibran bahwa dirinya menjamu Prabowo dalam kapasitas Wali Kota Solo menjamu Menteri Pertahanan tak serta merta menghilangkan anggapan publik bahwa Jokowi memang lebih condong kepada Prabowo dibandingkan kepada Ganjar.
Apalagi, upaya menyatukan Prabowo dengan Ganjar yang pernah dilakukan Jokowi sejak beberapa waktu lalu, hingga hari ini tak terwujud. Alih-alih berduet, jarak Prabowo dan Ganjar justru makin jauh. Partai Gerindra yang percaya diri karena Prabowo unggul di sejumlah lembaga survei tak ingin mantan jenderal bintang tiga itu menurunkan level dari bakal capres menjadi bakal cawapres.
Sementara PDIP yang menjadi pemenang Pemilu dari tahun 2014 dan 2019, juga gengsi untuk menurunkan status Ganjar dari bakal capres menjadi bakal cawapres. Memang, duet Ganjar dan Prabowo dalam Pilpres 2024 kembali bergaung beberapa hari terakhir. Bahkan isunya sangat kencang, lebih kencang dibandingkan beberapa bulan lalu.
Jika Ganjar dan Prabowo bersatu, perolehan suara mereka berdasarkan perolehan suara Pilpres 2019 sudah mencapai 64 persen. Artinya, Pilpres bakal berlangsung satu putaran di mana pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar akan kalah telak. Tentu saja, itu hitung-hitungan di atas kertas, pembuktiannya ya saat Pilpres digelar.
Kita masih menunggu kejutan Pilpres selanjutnya yang masih mungkin terjadi, setelah sebelumnya publik Tanah Air dikagetkan dengan bersatunya Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Sering tak sejalannya Jokowi dengan Megawati sebenarnya sudah terdeteksi oleh publik sejak lama. Tidak selalu tapi berulang kali berbeda jalan dalam sejumlah hal. Misalnya soal gagalnya Piala Dunia U-20 beberapa waktu lalu. Kemarahan Jokowi –dan juga Gibran– terlihat jelas dalam rekaman kamera wartawan setelah FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sementara, Megawati dan PDIP satu barisan menolak Tim Nasional Israel yang akan turut berlaga.
Saya menyimak sosok Jokowi memang unik. Sebagai wartawan, saya mengikuti jejaknya sejak masih menjadi pengusaha hingga akhirnya menjadi Wali Kota Solo tahun 2005. Namun yang paling menarik adalah saat ia tampil sebagai Presiden. Sepak terjangnya dalam 10 tahun terakhir memimpin Indonesia mengingatkan saya pada langkah Sukarno di awal memimpin yang merangkul semua kekuatan besar di belakangnya.
Dulu Sukarno merangkul kekuatan Islam, nasionalis (termasuk TNI) dan komunis dengan memberi porsi yang sama. Misinya jelas, jika tiga kekuatan besar itu berada pada porsi yang sama maka Sukarno akan lebih mudah mengendalikannya dan ia tidak bisa digulingkan. Sejarah mencatat, kekuasaan Sukarno akhirnya tumbang setelah dirinya lebih condong ke kekuatan kiri (komunis) dibandingkan dua kekuatan besar lainnya.
Meski diusung oleh PDIP, Jokowi tak 100% dalam kendali Megawati. Pada periode pertama tahun 2014, selain Megawati di belakang Jokowi ada tokoh besar yang memberi pengaruh pada kebijakan politiknya. Mereka adalah Ketua Partai Nasdem Surya Paloh dan senior Partai Golkar Luhut Binsar Panjaitan. Setelah Prabowo bergabung pasca-Pilpres 2019, kekuatan Jokowi bertambah sehingga semakin mengesankan Wali Kota Solo dua periode itu benar-benar tak lagi bisa diatur ke sana dan ke mari oleh Megawati.
Singkat kata, Jokowi adalah kekuatan baru perpolitikan Indonesia. Belum pernah ada dalam sejarah Indonesia, seorang presiden hasil Pemilu langsung yang masih punya relawan setia setelah dirinya terpilih. Apalagi Jokowi bukan lah petinggi partai. Dia hanya kader biasa yang harus rela disebut petugas partai kendati telah menjadi presiden. Tapi relawan Jokowi punya kesetiaan luar biasa, ibarat pasukan yang bisa digerakkan kapan saja.
Ditambah dengan Gibran dan Kaesang yang merepresentasikan anak muda –yang berdasarkan data di KPU pada Pilpres 2024 angka pemilihnya lebih dari 53%– kekuatan Jokowi tak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini disadari oleh dua bakal capres, Prabowo dan Ganjar, yang selalu berebut label sebagai “penerus Jokowi”.
Restu Jokowi untuk Kaesang secara elegan menabrak aturan internal PDIP yang tidak membolehkan dalam keluarga kader PDIP berbeda pilihan politik. Aturan ini, menurut beberapa petinggi DP PDIP, termuat dalam AD dan ART partai. Artinya, jika Anda adalah kader PDIP maka seluruh keluarga haruslah anggota PDIP.
Jujur bagi saya ini aneh. Sebuah partai yang memakai nama “demokrasi” namun melarang anggota keluarga lainnya berbeda pilihan. Bukankah esensi demokrasi adalah menghormati perbedaan pendapat/pilihan politik?
Tapi sekali lagi, Jokowi menabrak aturan ini secara elegan. Kaesang bukan lagi keluarga inti Jokowi. Ia sudah punya istri, sudah mempunyai kartu keluarga (KK) sendiri. Kaesang tetaplah anak Jokowi. Tapi, ia tidak bisa lagi diatur-atur. Pertanyaannya, apakah mungkin jika nanti Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan usia capres/cawapres tak harus 40 tahun lalu Gibran maju sebagai cawapres Prabowo, keluarga Jokowi tetap akan mendukung Ganjar Pranowo? Tidak mungkin, itu keyakinan saya.
Saya sependapat dengan dengan sejumlah pengamat, bahwa Jokowi tetap akan bersikap seperti ini. Ia tidak akan secara frontal menyatakan mendukung Prabowo atau Ganjar. Ia tetap akan menjaga jarak kepada keduanya, tapi selalu memberi kode-kode politik yang membuat GR kubu Prabowo dan Ganjar.
Menurut saya, ini langkah yang elegan. Jokowi takkan (secara nyata) berkhianat kepada Megawati dan PDIP karena enam kali menjadi kepala daerah/presiden adalah berkat jasa partai dan mentor politiknya tersebut.
Namun ia juga tidak bisa dipaksa-paksa jika punya kecenderungan politik yang berbeda dari Megawati dan PDIP. Ia independen tapi tetap dengan sopan santun ala piyayi Jawa, yang senantiasa berkata “inggih-inggih” walaupun berbeda pendapat dengan orang yang dihormatinya.
Menarik disimak konstelasi politik beberapa hari ke depan. Akankah Pemilu 2024 bakal diisi tiga pasangan capres/cawapres sehingga Prabowo dan Ganjar berhadapan yang membuat polemik Jokowi-Megawati akan terus terjadi. Ataukah seperti isu yang gencar bergulir beberapa hari terakhir bahwa Prabowo dan Ganjar akhirnya bersatu sehingga Jokowi dan Megawati tak lagi dalam posisi dilematis.
Duet Prabowo dan Ganjar bukan tidak mungkin bakal terjadi. Apalagi, keduanya membawa “misi” yang sama sebagai penerus Jokowi. Hanya pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang membawa pesan perubahan melalui Koalisi Perubahan.
Tidak ada yang pasti dalam politik. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada tetaplah kepentingan abadi. Dan seluruh kandidat akan berkata “semua demi bangsa dan negara”, “semua demi Indonesia”.
(Artikel ini terbit di Espos.id pada 24 September 2023)