Radio Solopos — Belakangan ini kita dihebohkan dengan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para pejabat badan usaha milik (BUMN). Termutakhir yang bikin mangkel rakyat Indonesia adalah kasus megakorupsi tata kelola impor minyak mentah.
Sebelumnya perusahaan minyak pelat merah ini juga tersandung kasus korupsi pengadaan LNG, digitalisasi SPBU, dan dana pensiun pegawai. Kebutuhan BBM masyarakat juga digunakan sebagai media untuk mengeruk duit negara.
Yang kasihan tentu pegawai SPBU di Indonesia. Mereka menjadi tumpuan sumpah serapah para pembeli BBM karena merasa dirugikan. Saya sebagai salah seorang pengguna Pertamax menyaksikan petugas SPBU di kawasan Manahan, Kota Solo, harus sabar menjawab pertanyaan menyudutkan dari para pembeli BBM dengan nilai RON 92 itu.
“Mas benar kan ini Pertamax murni bukan oplosan?” ujar seorang pembeli. Sang operator pun langsung menjawab “Siap, Pak, ini murni Pertamax bukan oplosan.”
Untung saja tak banyak orang yang secara detail meneruskan pembicaraan itu. Jika diteruskan pasti akan menjadi panjang.
“Darimana kamu tahu ini Pertamax murni? Apakah sudah ada pengecekan? Mana hasilnya? Pasang dong hasil tesnya di sini [SPBU] agar konsumen yakin!”
Begitulah kira-kira ungkapan ketika rakyat yang membeli BBM dengan hasil keringat, namun diterpa masalah Pertamax oplosan. Jangan heran, di luar Soloraya operator SPBU swasta kuning alias Shell langsung diserbu konsumen.
Mereka berganti mengisi BBM kendaraan mereka di SPBU berlogo kerang itu. Mungkin harganya lebih mahal, namun masyarakat tak mau ditipu lagi oleh Pertamina gara-gara isu BBM oplosann.
Uniknya, selang beberapa hari, begitu SPBU kuning diserbu ternyata stok BBM tiba-tiba kosong. Akibatnya SPBU milik Shell banyak yang tutup kerana tak punya stok BBM untuk dijual.
Ini jadi masalah karena yang muncul di otak konsumen adalah jangan-jangan ada pihak yang mengatur agar stok BBM di Shell dikurangi atau distop sementara waktu.
Presiden Direktur dan Country Chair Shell Indonesia, Ingrid Siburian, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR di Jakarta, Rabu (26/2/2025), seperti diberitakan Antara, mengatakan kekosongan stok BBM di SPBU Shell terjadi akibat hambatan pasokan dan persiapan distribusi.
Ingrid mengatakan SPBU Shell mengalami kekosongan seluruh varian BBM, yaitu RON 95, RON 98, dan solar CN51 pada Januari 2025. Keterlambatan tersebut terjadi karena hambatan pada rantai pasok.
Hambatan itu berada di luar kendali Shell. Fokus mereka pada hal-hal yang bisa dikendalikan. Shell telah mengajukan permohonan neraca komoditas untuk 2025 sebagai dasar persetujuan impor sejak September 2024.
Masalah Serius
Bergitulah, semua bisa terjadi di negara ini, mau diakui atau tidak itulah yang terjadi. Kasus oplosan BBM yang melibatkan Pertamina atau pihak lain merupakan masalah serius yang dapat merugikan masyarakat, lingkungan, dan perekonomian nasional.
Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan kendaraan dan industri yang bergantung pada bahan bakar berkualitas. Dampak oplosan BBM jelas merugikan konsumen pengguna BBM Pertamina.
BBM oplosan bisa menyebabkan kerusakan mesin kendaraan bermptor akibat kandungan yang tidak sesuai standar. BBM oplosan juga mengurangi efisiensi bahan bakar sehingga kendaraan menjadi lebih boros.
Oplosan BBM bisa mengandung zat berbahaya yang meningkatkan polusi udara dan memperburuk krisis lingkungan. Pembuangan limbah dari BBM oplosan juga dapat mencemari tanah dan air.
Hal utama lain adalah praktik ini jelas merugikan negara dan perekonomian. Pajak dan subsidi BBM disalahgunakan, menyebabkan kerugian ratusan miliaran rupiah bagi negara.
Ini juga yang belakangan mulai terjadi, yakni mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kualitas BBM yang dijual di SPBU. Seharusnya ada sejumlah hal yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi oplosan BBM yang diklaim Pertamina itu tidak pernah terjadi.
Harus ada pengawasan ketat oleh pihak berwenang. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) dan Pertamina, harus meningkatkan pengawasan terhadap distribusi BBM, termasuk audit rutin dan uji laboratorium terhadap sampel BBM di SPBU.
Hal lain adalah penegakan hukum harus diperketat dengan hukuman berat bagi pelaku oplosan, baik individu maupun perusahaan yang terlibat. Masyarakat juga harus lebih waspada terhadap BBM yang tidak sesuai standar.
Jika menemukan indikasi BBM oplosan, segera laporkan kepada pihak berwenang, seperti Pertamina atau kepolisian. Penguatan regulasi dan teknologi pengawasan sepantasnya diterapkan.
Pemerintah harus memperketat regulasi dan menerapkan teknologi modern, seperti sensor kualitas BBM di SPBU. Salah satunya adalah menggunakan teknologi blockchain atau sistem digital untuk melacak distribusi BBM secara transparan.
Kasus BBM oplosan tidak boleh dianggap sepele karena dapat merugikan banyak pihak, konsumen hingga negara. Dengan pengawasan ketat, edukasi masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas, kasus semacam ini bisa dicegah dan ditangani dengan lebih efektif.
Masyarakat juga harus proaktif dalam melaporkan indikasi kecurangan BBM agar kualitas dan keamanan tetap terjaga. Jika ternyata praktik oplosan itu dilakukan langsung dari hulu penyedia jasa, lantas kita harus bagaimana?
(Alvari Kunto Prabowo, esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Maret 2025)