SoloposFM–Pemerintah Kabupaten Sragen dalam waktu dekat akan mengabadikan nama penulis Kho Ping Hoo menjadi nama museum. Kho Ping Hoo selama ini populer sebagai penulis cerita silat di era 70-80-an. Berbagai macam karyanya dikenal luas bahkan beberapa diantaranya telah dibuat versi sinetron di televisi nasional. Lalu siapakah Kho Ping Hoo sebenarnya?
Kho Ping Hoo yang memiliki nama Asmaraman Sukowati ini, lahir di Sragen 17 Agustus 1926. Pengarang yang memiliki ide-ide besar ini seolah tak pernah kehabisan bahan dalam menulis. Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya.
Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan, serta disinetronkan. Sejumlah tokoh rekaan Kho Ping Hoo yang pernah populer antara lain Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.
Tidak sekadar menulis cersil, Kho Ping Hoo juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.
Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.
Berasal dari Keluarga Miskin
Dikutip dari laman tokohindonesia.com, Kho Ping Hoo, berasal dari keluarga miskin yang hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Namun, kegemarannya membaca membuatnya piawai merangkai kata. Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara untuk mengembangkan bakat menulisnya.
Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.
Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.
Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid.
Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan.
[Dita Primera]