SoloposFM – Muka Pengadilan di Indonesia kembali tercoreng. Tim KPK pada Jumat lalu (12/02/16), melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di kawasan Jakarta dan menangkap Kasubdit PK serta Kasasi erdata dan Khusus Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna (ATS). Dia ditangkap bersama pengusaha Ichsan Suaidi dan pengacara Awang Lazuardi Embat. Ichsan yang merupakan terpidana kasus korupsi tersebut, menyuap Andri agar menunda memberikan salinan putusan kasasi sehingga eksekusi terhadap dirinya molor. Selain mengamankan uang cash Rp 400 juta di paper bag, KPK juga mengamankan uang sekoper di rumah pejabat MA Andri Tristianto Sutrisna.
Pejabat MA ATS yang ditangkap KPK disinyalir tidak bermain sendiri. Untuk mengungkapnya, KPK pun didesak sejumlah pihak, untuk memakai pasal pencucian uang. KPK harus menggunakan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang kepada ATS. Dengan keberanian Andri bermain-main uang panas, bukanlah pertama kali ia lakukan. Oleh sebab itu, KPK harus mengembangkan dengan upaya lain, yaitu salah satunya dengan pencucian uang tersebut. ATS merupakan Kasubdit Perdata, sedangkan yang diurusnya adalah perkara pidana korupsi. Untuk bisa menggolkan usahanya menahan salinan putusan Ichsan, maka ATS harus bekerjasama dengan bagian lain. Dengan demikian, maka diduga kuat ATS juga menggunakan pihak lain untuk memuluskan aksinya.
Penangkapan terhadap pejabat Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna atau ATS, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi alasan kuat Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi Undang-Undang KPK. Penangkapan terhadap pejabat MA itu membuat masyarakat pesimistis untuk mendapatkan keadilan. Sebab, orang yang seharusnya tempat bertumpu memberikan keadilan, justru tertangkap menerima suap. Kondisi ini juga harus mendorong hukuman pemiskinan para koruptor di Indonesia. Para koruptor ini nampaknya tidak kapok-kapok melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme atau KKN, karena hukumannya terlalu ringan. Meskipun pemiskinan koruptor memang tidak serta merta menghilang korupsi, namun hukuman tersebut bisa menimbulkan efek jera. Koruptor sekarang tidak takut dipenjara, karena di penjara kadang mereka masih bebas, apalagi jika mempunyai kekuatan modal yang memadai.
Penangkapan Andri Tristianto Sutrisna oleh Komisi Pemberantasan Korupsi juga membuktikan masih lemahnya pengawasan di bidang pengadministrasian Pengadilan Negeri di Indonesia. Hingga saat ini, nampaknya sistem hukum pemerintahan di Indonesia masih belum bersih. Tidak heran, upaya dan tindak-tanduk praktik korupsi masih sering ditemukan pada petugas penegak hukum itu sendiri.