SoloposFM–Bencana gempa bumi dahsyat tahun 2006 meninggalkan luka dan derita. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter (SR) di pantai selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu menewaskan ribuan orang di wilayah Jawa Tengah-DIY termasuk Boyolali. Warga Boyolali punya cara tersendiri untuk mengenang peristiwa tersebut yakni dengan membangun Monumen Gempa Bumi di Cepokosawit.
Di daerah tersebut sebanyak 216 rumah warga yang tersebar di sembilan dari 12 dukuh di Cepokosawit mengalami rusak parah akibat gempa. Untuk mengenangnya warga membangun Monumen Gempa Bumi 2006 sebagai saksi sejarah terjadinya gempa bumi di Cepokosawit. Monumen yang dibangun di tanah kas desa seluas 500 meter persegi itu menelan dana senilai Rp225 juta dari swadaya masyarakat.
Dilansir Solopos.com, desain monumen gempa berbahan utama batu setinggi 17 meter itu menyerupai dua gapura yang disatukan. Pembangunan gapura masuk Candi Prambanan di Klaten menjadi inspirasi monumen. Ada sembilan pola gambar berbeda yang ukir di monumen itu. Setiap gambar memiliki filosofi atau makan tentang bencana gempa bumi di Cepokosawit.
Tiga pola gambar bermotif bunga di bagian bawah mengartikan tiga dukuh paling parah terkena gempa, sembilan gambar bulatan bermakna jumlah dukuh yang terkena gempa, 12 kotak berbentuk segi empat bermakna jumlah dukuh di Desa Cepokosawit, 12 gambar bunga sakura di tengah bermakna jumlah dukuh, gambar lima kotak segi empat pada bagian sayap monumen mengartikan waktu kejadian gempa, angka 2006 di puncak memiliki arti tahun kejadian gempa.
Kemudian lima bulatan di bawah bola dunia (globe) bermakna bulan kejadian gempa, 27 lembar daun di bagian sayap bermakna tanggal kejadian gempa, dan bola dunia bermakna gempa bumi.
Monumen ini diresmikan pada 26 Mei 2016 atau tepat 10 tahun pasca gempa. Anda bisa mengunjungi monumen gempa ini secara gratis alias dipungut biaya. Selain bisa berfoto di monumen, pengunjung bisa menyaksikan situs Mbah Gajah yang dikenal sebagai peninggalan dari Kerajaan Mataram Kuno. Situs Mbah Gajah adalah batu yang dipahat menyerupai gajah duduk (ndekem, dalam bahasa Jawa) di cekungan tanah dengan kedalaman sekitar 1,7 meter.
Foto: Solopos
[Dita Primera/Berbagai Sumber]