Radio Solopos, SOLO — Obrolan di Lincak Pak Karso sore itu membahas tentang Hari Sumpah Pemuda yang akan diperingati esok hari, 28 Oktober 2025. Baru ada Lik Tulus, Pak Guru Hadi dan Mas Tomo. Suasana sore di kampung tersebut cukup ramai. Anak-anak berlarian ke sana ke mari di jalanan kampung, menikmati usia mereka yang penuh keceriaan tanpa beban hidup.
“Kalian sadar tidak besok pagi itu peringatan hari apa,” pancing Pak Guru Hadi memulai percakapan.
Pak Karso belum bergabung karena baru pulang dari bepergian luar kota. Ia sedang mandi di rumahnya dan berjanji bergabung di lincak tak lama kemudian.
“Tahulah Pak Guru, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kan? Tapi jujur saja, kadang saya cuma ingat tanggalnya dan tahu peringatannya, enggak benar-benar ngerasa maknanya,” aku Mas Tomo, mahasiswa akhir sebuah perguruan tinggi negeri di Solo.
Di usianya yang menginjak 24 tahun, Mas Tomo sudah belasan kali merasai peringatan Hari Sumpah Pemuda. Tapi ia mengakui makin hari peringatan-peringatan hari besar seperti kehilangan makna, tak lebih sekadar formalitas belaka.
“Sama. Padahal kalau dipikir, luar biasa banget ya generasi tahun 1928 itu. Bayangin, mereka datang dari berbagai pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara dan lain-lain. Semua berkumpul di Jakarta,” imbuh Lik Tulus yang meski sudah tidak lagi berurusan dengan dunia pendidikan tetapi ingatannya saat bersekolah takkan pernah hilang.
“Benar. Padahal waktu itu belum ada pesawat murah, belum ada TikTok buat koordinasi, apalagi Zoom Meeting. Tapi semangatnya luar biasa. Mereka rela menempuh perjalanan jauh buat bersatu dan bersumpah: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia,” tambah Pak Guru Hadi, yang sehari-hari mengajar pelajaran ilmu sejarah di sekolah dasar.
Pak Guru Hadi menambahkan, layak untuk menjadi perenungan bersama tentang makna Sumpah Pemuda yang digelorakan pada 28 Oktober 1928. Setelah 97 tahun berselang, apakah masih ada di dada-data para generasi muda tentang semangat perjuangan? Menurut Pak Guru Hadi, jika dulu bangsa Indonesia dijajah secara fisik, sekarang dijajah pikiran.
“Iya… musuh kita bukan lagi pasukan bersenjata tapi rasa malas, acuh tak acuh, dan candu scroll tanpa arah. Jika tidak hati-hati, waktu habis untuk hal-hal yang tidak penting,” suara Pak Karso memicu kekagetan para penghuni lincak.
Secara serentak, Pak Guru Hadi, Lik Tulus dan Mas Tomo mengalihkan pandangan ke arah Pak Karso yang datang dengan wajah cerah karena habis mandi.
“Hehe, iya, kadang kita nggak sadar udah dijajah gaya hidup instan. Padahal bangsa ini tetap butuh ‘api perjuangan’ kayak dulu,” sambung Pak Guru Hadi.
Pak Guru Hadi lantas memerinci frasa ‘api perjuangan’ yang dikatakannya barusan. Menurutnya, api perjuangan membangun bangsa dari para pendahulu harus diteruskan oleh generasi muda. Pertama adalah api keberanian, yakni berani jujur di tengah kepalsuan. Berikutnya adalah api kreativitas, yaitu kreatif membangun dan menciptakan sesuatu dan bukan hanya mengeluh tanpa solusi.
“Dan terakhir adalah api solidaritas, saling bantu, bukan saling menjatuhkan,” tandas Pak Guru Hadi.
“Keren itu. Kadang kita sibuk ngomong ‘Indonesia harus maju’ tapi lupa kalau kejayaan itu tidak datang dari slogan. Butuh kerja nyata, kolaborasi, dan ketulusan,” ujar Mas Tomo yang mulai mendapat pandangan baru soal makna Sumpah Pemuda.
Pak Karso lantas menambahkan penjelasan Pak Guru Hadi. Di mata Pak Karso, generasi muda saat ini sudah punya segalanya: ilmu, teknologi, akses. Tapi tanpa tiga api yang dijelaskan Pak Guru Hadi tadi, semuanya bisa padam begitu saja tanpa bekas.
Yang menjadi autokritik untuk generasi sekarang, tambah Pak Karso, mereka terlalu nyaman dengan keadaan yang serba mudah di era teknologi. Dan itu, menurut Pak Karso, memicu generasi muda kehilangan arah. Padahal kalau pemuda kehilangan semangat, bangsa pun bisa kehilangan arah.
“Makanya, yuk nyalakan lagi semangat 1928 di hati kita. Bukan cuma lewat upacara atau caption Instagram tapi lewat tindakan nyata, kerja, karya, dan cinta untuk Indonesia,” tandas Pak Karso.
Jika api semangat itu tetap hidup, Pak Karso yakin Indonesia tidak akan pernah padam. Tagar “Indonesia Gelap” yang sempat memicu pesimisme publik beberapa waktu lalu, kata dia, tidak akan pernah mewujud menjadi kenyataan. Alih-alih pesimis, Pak Karso justru mengajak para generasi muda untuk menelusuri jejak semangat dua pendiri bangsa, Sukarno dan Mohammad Hatta, saat berjuang memerdekakan nusantara dari kolonial Belanda.
Sukarno, kata Pak Karso, memandang pemuda sebagai obor penerus revolusi.
Sementara tiga api yang disebut Pak Guru Hadi tadi (api keberanian, kreativitas, dan solidaritas), menurut Pak Karso, adalah bentuk baru dari nasionalisme modern.
“Jika dulu melawan penjajah bersenjata, kini pemuda harus melawan penjajahan mental dan rasa malas. Bagi Sukarno ini bentuk ‘revolusi mental’ yang ia cita-citakan. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa para pahlawannya,” jelas Pak Karso.
Tapi Pak Karso juga mengingatkan, ada kerja besar generasi sekarang yang tidak pernah mengenal kata berhenti. Mengutip pendapat Bung Hatta, kemerdekaan yang diraih Indonesia 80 tahun silam bukan akhir tapi permulaan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan disegani dunia.
“Kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Di seberangnya masih banyak kerja keras yang menanti,” ujar Pak Karso menirukan pendapat Bung Hatta.
“Mari terus menyalakan api keberanian, kreativitas, dan solidaritas—tiga nyala yang akan membuat Indonesia selalu bercahaya. Merdeka, teman-teman muda Indonesia!” tandas Pak Guru Hadi sembari mengepalkan tangan, sekaligus menutup obrolan di Lincak Pak Karso.
Obrolan sore itu di Lincak Pak Karso menegaskan bahwa kejayaan tidak datang dari slogan melainkan dari kerja nyata, kolaborasi dan ketulusan. Pemuda bukan sekadar pewaris tapi penggerak kemajuan dengan integritas dan etos kerja.
Tiga api yang disebut dalam opini Pak Guru Hadi, yakni keberanian, kreativitas, solidaritas bisa dianggap sebagai wujud konkret dari nilai tanggung jawab moral yang diajarkan para pendahulu bangsa.
(Penulis: Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor UNS 2011-2019)







