SoloposFM, Pertanyaan “Kapan pandemi COVID-19 berakhir?” atau “Kapan kehidupan bisa berjalan normal seperti sedia kala?” tampaknya jadi pertanyaan semua orang. Terlebih virus SARS-CoV-2 telah genap 2 tahun bercokol di Tanah Air sejak 2 Maret 2020.
Melihat perkembangan COVID-19 pada tataran global, setiap negara, termasuk Indonesia berupaya lepas dari cengkeraman pandemi. Terus bergerak dan berharap segera tiba pada fase endemi. Fase ketika COVID-19 menjadi penyakit yang konstan atau biasa dalam suatu populasi atau area geografis tertentu. Tak ubahnya malaria atau demam berdara dengue (DBD).
dr Tonang Dwi Ardyanto, SpPK(K), PhD, FISQua, Pakar Patologi Klinik RS UNS, dalam Dinamika, Senin (7/3/2022) mengungkapkan kondisi endemi itu berarti kasus masih ada, diharapkan serendah mungkin sehingga tidak berisiko bagi kapasitas pelayanan kesehatan, dengan angka kematian juga serendah mungkin mendekati nol.
“Itu artinya skala pandemi sudah kecil. Untuk bisa mengukur itu, berarti harus tahu ukuran pandemi. Instrumen yang tepat adalah 3T dengan kuncinya adalah testing,” ungkapnya.
Kewenangan menyatakan pandemi ada pada WHO. Karena pandemi melibatkan antara negara dan benua. Begitu juga untuk menyatakan berakhirnya pandemi, adalah kewenangan WHO. Sedangkan epidemi bisa saja terjadi hanya pada suatu wilayah tertentu saja. Misalnya satu negara atau beberapa negara.
Sedangkan endemi, berarti angka kasusnya sudah sangat rendah tapi belum bisa dihilangkan sampai nol. Ini sifatnya bisa di suatu wilayah tertentu saja. Atau bisa juga antar negara bahkan antar benua.
Maka prinsip dasarnya: menyatakan terjadinya pandemi dan mencabutnya adalah kewenangan di WHO. Tidak bisa masing-masing negara menyatakan “sudah tidak terjadi pandemi” lagi.
Baca juga : Cerita Filsa Budi Ambia, Olah Produk Skala Rumahan Jadi Oleh-Oleh Nomor Satu Khas Balikpapan
Kasus Masih Tinggi
Lebih lanjut Tonang mengungkapkan, semua pihak berharap Indonesia sudah melewati gelombang Omicron. Tapi kasus masih tinggi. Angka kematian juga masih menanjak.
“Dengan keterbatasan soal tes, dan menyadari situasi ini, tentu kita bijak untuk berhati-hati menilai dan menyimpulkan sudah berapa ukuran pandemi ini sehingga tidak tergesa-gesa menyatakan sudah masuk fase endemi,” ungkapnya.
Dia juga meminta semua pihak untuk berhati-hati memaknai endemi covid. Kondisi endemi itu bukan kondisi yang diharapkan. Itu kondisi terpaksa, mau tidak mau dijalani, karena sebenarnya covid belum benar-benar dapat dieradikasi.
“Covid itu bukan hanya soal kesehatan. Usul saya, kita pertimbangkan pelonggaran, sesuai perkembangan kasus berbasis data yang kredibel. Sebaiknya tidak tergesa-gesa mewacanakan soal fase endemi. Banyak hal harus dipertimbangkan dengan wacana tersebut. Sebaiknya hati-hati,” tambah Tonang.
Ia berarapan pada Ramadhan dan Lebaran mendatang masyarakat bisa lebih “nyaman”. Bukan berarti saat itu sudah tepat disebut masuk fase “endemi”.
“Yang kita harapkan adalah kasus mulai sangat landai, angka positivitas terjaga di bawah 5%, kasus kematian sudah sangat rendah, angka reproduksivitas jauh di bawah 1. Maka dengan kondisi itu, kita bisa melonggarkan diri agar sedikit lebih nyaman. Setidaknya lebih nyaman daripada 2 lebaran sebelumnya,” pungkas Tonang.
Baca juga : Empat Alasan Kamu Harus Coba Scallion Sandwich ala Taiwan, Dijamin Bikin Nagih!
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika, Senin (7/3/2022) Sobat Solopos mengungkapkan opininya terkait wacana Pandemi Covid-19 Jadi Endemi. Berikut sejumlah opini mereka:
“Entah kapan bisa dikategorikan endemi, yang penting sehat terus,” ungkap Dyah.
“Jujur dah bosan banget dengan pandemi. Tapi kesehatan jangan buat main-main. Kalau kondisi belum memungkinkan dilonggarkan ya jangan dipaksakan. Saya punya anak kecil dan orangtua juga lansia yang harus dijaga kondisi kesehatannya,” tulis Ana.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]