Radio Solopos – Praktik jasa titip atau jastip semakin marak di Indonesia. Praktik ini semakin subur karena adanya perbedaan harga yang cukup signifikan, antara barang yang dijual di Indonesia dengan di luar negeri.
Misalnya saja, harga salah satu smartphone, antara harga jual Malaysia dan Indonesia ditemukan adanya selisih sampai Rp3.5 juta. Tentu nilai ini sangat menggiurkan untuk beberapa orang penggiat praktik jastip.
Di sisi lain, keuntungan yang diperoleh pelaku jastip, tidak berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh pemerintah Indonesia akibat maraknya transaksi jastip.
Hal itu karena barang yang masuk ke Indonesia lewat jastip kerap lolos dari pajak, sehingga menjadi lebih murah. Akibatnya, selain merugikan negara, hal itu dipandang tidak adil bagi para pelaku usaha lain yang memasukkan barang secara legal.
Untuk itu, Kementerian Perdagangan mengumumkan bahwa layanan jasa titip atau jastip dari luar negeri akan diperketat pengawasannya melalui peraturan baru.
Dikutip dari Bisnis.com, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN), Isy Karim, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah sedang memberikan perhatian penuh terhadap jastip.
Bahkan, masalah ini telah menjadi topik pembicaraan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri yang diadakan di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada Selasa (31/10), yang membahas tentang pengetatan impor.
Isy menyatakan bahwa rencananya akan ada peraturan baru yang akan mengatur jumlah barang yang boleh dibawa oleh Warga Negara Indonesia (WNI) ketika mereka memasuki wilayah Tanah Air.
Selain itu, akan ada aturan yang mengatur jumlah barang yang dapat dikirim oleh WNI dari luar negeri dalam satu tahun.
“Nanti ada pengaturan untuk kita yang di luar negeri, PMI (pekerja migran Indonesia) akan diberikan satu tahun itu berapa frekuensinya boleh bawa barang. Termasuk juga diatur, orang kita yang di luar negeri dalam satu tahun boleh mengirim berapa kali,” kata Isy.
Pengawasan terhadap jasa titip (jastip) merupakan tindakan untuk memperketat aliran impor yang dapat mengganggu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Saat ini, layanan jastip telah menjadi populer melalui media sosial, di mana penjual berperan sebagai perantara untuk membeli barang-barang yang sulit diakses oleh pembeli, terutama yang berasal dari luar negeri.
Pembeli hanya perlu memilih barang yang mereka inginkan, seperti sepatu, tas, aksesori, atau makanan, dan membayar sesuai dengan harga yang ditentukan oleh penjual jastip. Harga tersebut biasanya sudah mencakup komisi atau biaya jasa.
Kementerian Keuangan saat ini mengatur bahwa jumlah barang pribadi yang dapat dibawa oleh penumpang yang dibebaskan dari bea masuk adalah sebesar 500 dolar AS per orang.
Nah, sebenarnya seberapa besar sih kerugian negara dari maraknya praktik jastip? Sejauh mana pula praktik ini mengganggu UMKM dalam negeri.
Berikut perbincangan kami bersama Pengamat Ekonomi dari UNS Bhimo Risky Samudro, dalam program on air Kopi Pagi sesi Dinamika 103, Jumat (3/11/2023).
Jangan lupa simak perbincangan dengan tema-tema menarik lainnya di Dinamika 103, setiap Senin – Jumat pukul 08.00 – 09.00 WIB di 103 Radio Solopos.