Radio Solopos — Pengakuan para eks pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) tentang kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami selama bertahun-tahun, beberapa waktu lalu, seharusnya mengguncang nurani kemanusiaan siapa pun.
Di balik kemeriahan pertunjukan yang menghibur khalayak luas, ternyata tersimpan kisah getir penuh penderitaan. Nama besar OCI sebagai pelopor sirkus modern di Indonesia kini tercoreng oleh dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Selama ini sirkus dipandang sebagai bagian hiburan anak-anak dan keluarga. Cerita dari para eks pemain OCI mengungkapkan realitas pahit yang tertutup sorotan lampu dan tepuk tangan penonton.
Mereka mengaku mengalami kekerasan fisik, tekanan psikologis, pengabaian hak-hak dasar seperti pendidikan dan identitas, serta tidak menerima upah meski bekerja sejak masa kanak-kanak.
Itu menunjukkan ada kelemahan sistemik dalam perlindungan hukum dan pengawasan terhadap industri hiburan alternatif seperti sirkus. Banyak sektor seperti ini yang belum tersentuh regulasi dan pemantauan ketat sehingga membuka ruang praktik eksploitasi berkedok pelatihan atau pendisiplinan.
Kasus OCI menjadi cermin buruk bahwa perlakuan terhadap pekerja seni—terutama yang dimulai sejak usia anak-anak—bisa luput dari perhatian publik dan negara.
Yang lebih mengkhawatirkan, laporan tersebut juga menyebut nama Taman Safari Indonesia—institusi besar yang dikenal sebagai pusat konservasi satwa dan destinasi wisata keluarga.
Dugaan tempat ini menjadi lokasi praktik penyiksaan, bahkan disebut memiliki bunker bawah tanah, membuka kemungkinan jaringan eksploitasi manusia ini tidak berdiri sendiri.
Kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk segera melakukan investigasi menyeluruh dan independen.
Empat tuntutan yang diajukan oleh para korban melalui kuasa hukum Muhammad Sholeh sangat masuk akal dan patut diperjuangkan: pembukaan identitas 60 pemain, pembentukan tim investigasi, pengadilan hak asasi manusia (HAM) untuk kasus lama, dan ganti rugi.
Tuntutan itu mendesak ditindaklanjuti. Tuntutan pertama, pembukaan identitas 60 eks pemain sirkus, menunjukkan betapa lama mereka hidup dalam kondisi tidak manusiawi.
Ketika seseorang tumbuh tanpa akses terhadap dokumen identitas diri, keluarga, dan pendidikan, jelas ini adalah pelanggaran terhadap hak identitas yang sangat mendasar.
Tuntutan kedua, pembentukan tim investigasi tidak boleh diabaikan. Kesaksian tentang keberadaan bunker bawah tanah yang diduga menjadi tempat penyiksaan harus segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan yang profesional dan bebas dari intervensi.
Tuntutan ketiga, pengadilan HAM atas penyiksaan sejak 1997, sepatutnya dikaji serius. Meski saat itu belum ada Undang-undang HAM, semangat menegakkan keadilan tidak boleh dikalahkan oleh keterbatasan hukum positif.
Menggali kasus lama merupakan bentuk pembelajaran dan pencegahan agar praktik serupa tidak terulang. Tuntutan terakhir adalah ganti rugi. Ini bagian dari keadilan restoratif yang harus dipenuhi.
Para eks pemain sirkus itu kehilangan masa kecil, mengalami kerusakan fisik dan psikologis jangka panjang. Jika mereka bekerja tanpa digaji dan diperlakukan secara tidak manusiawi, ganti rugi bukan kemurahan hati—ini keharusan moral dan hukum.
Apa yang mereka alami tak ubahnya bentuk perbudakan zaman modern—sebuah sistem yang tidak selalu hadir dengan rantai dan borgol seperti pada masa lampau, tetapi dengan cara yang jauh lebih halus, tersembunyi, dan sistemik.
Dalam konteks modern, perbudakan bukan hanya tentang kepemilikan atas tubuh seseorang, melainkan kontrol total terhadap hidup, waktu, dan pilihan mereka.
Menurut Global Slavery Index, perbudakan modern mencakup segala bentuk kerja paksa, perdagangan manusia, pernikahan paksa, eksploitasi seksual, dan situasi kerja yang melibatkan ancaman, penipuan, atau paksaan.
Ini terjadi ketika individu tidak bisa menolak atau meninggalkan pekerjaan karena tekanan ekonomi, sosial, atau kekerasan.
Dalam kasus OCI, unsur-unsur ini muncul sangat jelas: anak-anak dipisahkan dari keluarga, tidak memiliki dokumen, dipaksa tampil dan berlatih secara ekstrem, serta hidup dalam ketergantungan total kepada pihak pengelola.
Perbudakan zaman modern sering kali bersembunyi di balik wajah industri informal dan sektor hiburan. Tidak selalu terlihat karena pelakunya pandai membungkus dengan narasi “peluang”, “pelatihan”, atau “bakat sejak kecil”.
Justru karena itulah jauh lebih sulit dideteksi dan lebih berbahaya karena terjadi di depan mata kita, tanpa kita sadari. Ironisnya, semua ini terjadi di ruang yang disebut sebagai tempat hiburan.
Hiburan tidak boleh dibangun di atas penderitaan manusia lain. Sudah waktunya kita membuka mata bahwa perbudakan tidak hanya milik masa lalu—masih hidup hari ini dalam bentuk-bentuk baru yang mengancam generasi muda paling rentan.
Bantahan manajemen OCI dan Taman Safari Indonesia tetap harus dihormati dalam koridor hukum. Tony Sumampau selaku pendiri OCI sekaligus Komisaris Taman Safari menyebut tudingan tersebut sebagai sensasional dan tidak logis.
Ia menuduh ada pihak yang memprovokasi para eks pemain sirkus itu. Meski begitu, justru inilah alasan penyelidikan objektif dan transparan harus dilakukan.
Pernyataan di pers atau media sosial tidak cukup untuk membantah tuduhan serius—kebenaran harus dibuktikan lewat proses hukum yang adil.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa nostalgia terhadap sirkus dan pertunjukan lainnya tidak boleh menutup mata kita terhadap penderitaan di balik layar.
Hiburan tidak seharusnya dibayar dengan penderitaan manusia. Sudah waktunya masyarakat lebih kritis terhadap cara pertunjukan diproduksi dan siapa yang menjadi korban.
Sudah waktunya negara hadir. Pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, dan lembaga terkait harus lekas turun tangan.
Kasus ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang siapa kita sebagai bangsa hari ini.
Apakah kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam perbudakan yang dibungkus hiburan? Ataukah kita berani membuka luka lama demi masa depan yang lebih adil?
Suara para korban adalah suara kebenaran yang sekian lama dibungkam. Mereka tidak butuh simpati kosong. Mereka butuh keadilan. Kini, bola ada di tangan pemerintah dan lembaga hukum.
Jangan sampai kasus ini hanya menjadi headline sesaat tanpa tindakan nyata. Negara punya kewajiban melindungi warga—terutama mereka yang paling rentan. Jika tidak, kita telah gagal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 April 2025. Magdalena Naviriana Putri adalah jurnalis Solopos Media Group)