Radio Solopos — Penolakan terhadap UU TNI hasil revisi terus muncul hingga saat ini.
Pembentukan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota selalu diawali dengan penyusunan naskah akademik sebagai basis argumen atau fundamental thingking diperlukannya sebuah peraturan baru.
Fungsi naskah akademik sangat krusial dalam pembentukan peraturan. Naskah akademik mengulas berbagai hal, meliputi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Kompleksitas landasan tersebut harus ditempuh sehingga akan terwujud peraturan yang sesuai dengan kebutuhan hukum dalam sebuah masyarakat.
Pengesahan revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025, mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, bahkan hingga hari ini.
Jika kita telisik lebih dalam, naskah akademik revisi UU TNI memang mengandung kecacatan, saling bertolak berlakang, dan klaim subjektif. Banyak argumen dalam naskah akademik yang disusun tanpa basis data yang jelas dan cenderung mencocok-cocokkan, padahal terdapat kekeliruan.
Contoh, disebutkan dalam naskah akademik bahwa penempatan prajurit aktif TNI di kementerian/lembaga negara bukanlah bentuk pelaksanaan dwifungsi TNI. Argumen tersebut berdasarkan bahwa penempatan prajurit aktif TNI sebatas penempatan tugas profesional atau memenuhi kebutuhan atas keahlian tertentu.
Jika kita mengacu UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Pasal 2 menjelaskan tentara profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Diksi profesional dalam UU TNI hasil revisi berbeda dengan UU TNI sebelumnya. Kata profesional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung arti suatu keterampilan atau kemampuan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidangnya.
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 6 UU TNI sebelum revisi. TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri; penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945. Artinya, TNI melaksanakan tugas profesional pertahanan negara dan tidak melebihi ruang lingkup tersebut, apalagi yang sifatnya administratif. Dalam melihat perbedaan tersebut kita bisa menggunakan toeri trias politika milik Montesquieu.
Bahwa kekuasaan negara dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan tersebut penting agar dapat saling mengontrol satu sama lain sehingga fungsi check and balance terjadi.
Faktanya dalam naskah akademik, penempatan prajurit aktif TNI tidak terbatas dalam Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Artinya ada perluasan untuk prajurit aktif mengisi sektor-sektor sipil.
Sektor tersebut sebelumnya meliputi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelegen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, SAR nasional, narkotika nasional, kelautan dan perikanan.
UU TNI hasil revisi memperluas, meliputi Badan Nasional Penanggulana Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulaangan Terorisme (BNPT), keamanan laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Mahkamah Agung.
Penempatan prajurit aktif di posisi-posisi tersebut dapat mengganggu fungsi check and balance dalam pemerintahan, bahkan cenderung mematikan fungsi check and balance karena status prajurit aktif dapat memasuki tiga kekuasaan dan mempunyai peran ganda.
Selain karena tugas profesional, penempatan prajurit aktif juga berdasarkan keahlian tertentu yang diperlukan oleh kementerian/lembaga negara. Dalam UU TNI sebelum revisi, keahlian TNI digunakan untuk pertahanan negara dengan menggunakan peralatan yang lengkap.
Artinya jika kementerian/lembaga negara memerlukan peran TNI aktif, hal tersebut juga dalam lingkup ancaman bersenjata. Hal tersebut sesuai dengan UU TNI Pasal 11, sebelum revisi, yang menyebut postur TNI dibangun dan dipersiapkan sebagai bagian dari postur pertahanan negara untuk mengatasi setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata.
Menjadi pertanyaan jika kementerian/lembaga negara memerlukan peran prajurit aktif untuk terlibat. Tidak adanya spesifikasi dalam diksi “keahlian tertentu” jelas mengakibatkan multitafsir dan cenderung membuat TNI bertugas melebihi kewenangan.
Jika ada hubungan dengan lembaga/badan dalam negeri, hal tersebut dijelaskan dalam UU TNI Pasal 70 (sebelum revisi).
Hubungan dan kerja sama TNI dengan lembaga, badan, serta instansi di dalam negeri didasarkan atas kepentingan pelaksanaan tugas TNI dalam kerangka pertahanan negara. Lagi-lagi soal pertahanan negara.
Contoh lain dalam naskah akademik, kementerian/lembaga memiliki keterbatasan sumber daya manusia sehingga membutuhkan peran prajurit aktif TNI. Ini tidak berdasarkan fakta. Melihat data di portal Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah pelamar CPNS 2024 mencapai 3,9 juta.
Artinya jika kementerian/lembaga memiliki keterbatasan sumber daya manusia, mereka dapat merekrut anggota baru. Hal tersebut tentu memenuhi asas keadilan dan manfaaat sekaligus tetap memperhatikan sistem pembagian kekuasaan.
Tidak Masuk Akal
Perpanjangan masa pensiun prajurit TNI juga tidak mencerminkan asas keadilan. Motif utama perpanjangan masa pensiun prajurit TNI ialah karena tidak sinkron dengan batas usia Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pegawai aparatur sipil negara (ASN), dan juga dapat membantu meringankan beban kebutuhan keluarga prajurit TNI.
Alasan tersebut jelas tidak masuk akal, apalagi dalam naskah akademik disebut usia harapan hidup masyarakat Indonesia saat ini terus bertambah, padahal faktanya data Global Health Observatory menunjukkan usia masyarakat Indonesia pada 2022 semakin pendek bila dibandingkan dengan 2010 yakni 67,6% daripada sebelumnya 68,5%.
Artinya rata-rata usia masyarakat Indonesia pada 2022 adalah 67,6 tahun alias menurun sebanyak 0,9% dari tahun 2010.
Masuknya prajutit TNI aktif ke ranah sipil juga berpotensi mengambil/menguasai lahan masyarakat sipil. Jelas dalam hal ini TNI yang semakin sejahtera, sedangkan masyarakat sipil semakin terkikis sumber pekerjaannya karena diisi prajurit TNI aktif.
Yang menjadi poin krusial adalah karena metode yang digunakan sangatlah terbatas. Hanya menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode kepustakaan dengan pengumpulan data berupa studi dokumen. Data yang digunakan adalah data sekunder.
Metode tersebut jelas tidak relevan untuk digunakan karena berusaha mengaburkan realitas. Pernyataan yang ditulis dalam naskah akademik tidak dibangun berdasarkan data. Hanya bersifat spekulasi.
Seperti pernyataan implikasi penerapan sistem baru terkait peran prajurit aktif TNI pada kementerian/lembaga lain memberikan dampak positif kepada TNI dan juga kementerian/lembaga lain.
Pernyataan tersebut tidak dijabarkan lebih lanjut ihwal contoh dampak positif, hanya sebatas spekulasi yang dibayangkan. Tentu sebagai naskah akademik, itu hal yang keliru karena tidak melihat realitas, padahal hubungan sipil-militer memiliki sejarah yang panjang.
Garis besar UU TNI hasil revisi adalah perluasan peran aktif TNI untuk terlibat di ranah sipil, namun argumen yang dibangun justru keterlibatan masyarakat untuk membantu TNI. Terbukti dengan banyaknya pernyataan ”TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.”
Kalimat tersebut digunakan ketika kondisi negara sedang berperang. Artinya masyarakat wajib ikut terlibat jika negara dalam keadaan perang. Jika digunakan dalam kondisi sekarang, jelas sangat tidak relevan.
Penyusunan naskah akademik sebagai basis argumen harus memperhatikan kondisi sosio-politik. Tentu disertai data pendukung yang kuat dan relevan. Jika tidak, akan menghasilkan peraturan yang cacat dari segi substansi dan implementasi karena tidak memperhatikan kondisi yang berlangsung.
Revisi UU TNI mulai dari naskah akademik harus disusun ulang menggunakan metode yang relevan seperti normatif-empiris, mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi. Termasuk hubungan sipil-militer dalam negara demokrasi seperti di Indonesia.
Wajar reaksi masyarakat menolak mentah-mentah perluasan peran prajurit aktif TNI karena tidak menjunjung semangat supremasi sipil dan DPR wajib mempertimbangkan ulang hal tersebut.
Prof. Kusumaatmadja pernah berkata hukum harus menciptakan keteraturan dalam usaha pembangunan atau pembaruan. Dalam konteks sekarang revisi UU TNI bukan dalam kerangka hukum berkembang, namun malah kembali ke belakang atau mundur.
Norma yang sudah diatur dalam Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri kini malah dimunculkan kembali dalam UU TNI haisl revisi. Jelas ada pertentangan norma dengan masuknya prajurit aktif TNI ke ranah sipil.
Sangat jelas bahwa TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan TNI tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Artinya secara etika UU TNI hasil revisi melanggar atau bertolak belakang dengan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang secara hierarki ada di atasnya.
Walaupun tidak ada mekanisme menguji UU terhadap Tap MPR, dari sini kita bisa menilai DPR selaku pembuat undang-undang tidak memperhatikan peraturan terdahulu.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 April 2025. Penulis M. Ikbar Nariswara, peneliti hukum, HAM, gender, dan inklusi sosial di LP3ES Jakarta)