oleh Eunike Sonia Harsono
SoloposFM – Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis, menciptakan kondisi yang sesuai untuk organisme hidup dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity. Dengan keragaman hewan yang dimiliki, dan banyaknya hewan liar yang juga hidup berdampingan dengan manusia, menyebabkan interaksi baik secara positif maupun negatif. Terjadinya penyebaran penyakit dari hewan ke manusia menjadikan bukti terjadinya interaksi negatif. Penyebaran penyakit yang dibawa atau ditularkan disebabkan oleh adanya hewan-hewan yang bertindak sebagai agen pembawa dan inang dari penyakit. Hewan avertebrata yang membawa dan menularkan penyakit dari inang penyakit ke manusia dikenal sebagai vektor. Sedangkan hewan vertebrata yang bertindak sebagai inang dari penyakit disebut sebagai reservoir. Salah satu contoh hewan yang bertindak sebagai reservoir adalah tikus.
Tikus diketahui dapat menularkan penyakit leptospirosis yang kemudian menjadi salah satu KLB yang terjadi di Indonesia. Penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri leptospira yang bisa ditemukan dalam urin tikus. Leptospirosis merupakan penyakit yang bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa kejadian tahunan leptospirosis adalah 10 hingga 100 kasus/100.000 orang didaerah lembab, tropis, dan daerah endemik. ILS (International Leptosirosis Society) mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang rentan terkena leptospirosis yaitu dengan kasus kematian akibat leptospirosis sebesar 7,1%, Indonesia termasuk peringkat tiga di dunia untuk angka mortalitas.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2018, provinsi Jawa Tengah memegang angka kasus leptospirosis terbanyak. Peningkatan signifikan kasus leptospirosis terjadi di Jawa Tengah, yaitu dari 164 kasus pada tahun 2016 menjadi 316 kasus pada tahun 2017. Kasus besar leptospirosis terbaru terjadi di Klaten, Jawa Tengah pada November 2018 lalu yaitu telah terjadi 66 kasus Leptospirosis di mana 11 orang di antaranya meninggal dunia. Berdasar data dari Dinkes Klaten. Kasus leptospirosis yang telah terjadi di Jawa Tengah ini masuk dalam golongan KLB (Kejadian Luar Biasa) karena banyaknya jumlah korban meninggal dunia akibat penyakit leptospirosis.
Tidak semua negara menjadikan kasus leptospirosis menjadi ancaman bahaya sedangkan di Indonesia leptospirosis tergolong dalam KLB. Penyebab tingginya kasus leptospirosis di Indonesia selain disebabkan karena daerah dan iklim di Indonesia, dapat disebabkan juga karena kondisi negara Indonesia yang masih berstatus negara berkembang. Teknologi, ilmu pengetahuan, sarana prasarana dan pembangunan belum menyebar merata ke seluruh daerah di Indonesia. Banyak daerah yang tertinggal dan belum terjamah oleh pemerintah. Edukasi, sarana prasarana, dan layanan kesehatan belum memadai sehingga banyak masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran dan kesehatan yang rendah. Penularan penyakit leptospirosis akan semakin mudah apabila pengetahuan masyarakat akan leptospirosis rendah, karena tidak adanya tindakan pencegahan.
Perilaku dan kesadaran masyarakat akan kesehatan yang didukung oleh pengetahuan akan kesehatan dapat menjadi pencegahan terjadinya penyakit dan penularan penyakit. Ilmu pengetahuan dan pendidikan mempengaruhi kesadaran masyarakat akan kesehatan karena pengetahuan menjadi dasar bagi masyarakat dalam bertindak dan berperilaku. Pengetahuan dapat diperoleh baik secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari diri sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari, dan pengetahuan eksternal yang diperoleh dari luar, baik dari sekolah, membaca buku ataupun jurnal, dan sosialisasi dari pihak-pihak yang lebih paham.
Masyarakat memerlukan orang-orang yang peduli dan mau membagikan ilmu kepada masyarakat yang masih awam tentang leptospirosis. Pemerintah dapat menggerakan jajarannya terutama yang berada di bidang kesehatan untuk melakukan sosialisasi. Melalui sosialisasi dapat meningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dari yang tidak paham atau kurang paham menjadi paham. Setelah kita paham hendaklah juga kita membagikan pengetahuan ke orang lain sehingga semakin banyak orang yang mengerti tentang leptospirosis dan bagaimana pencegahannya dapat mengurangi kasus leptospirosis. Dukungan dari keluarga juga bepengaruh untuk mencegah kasus leptospirosis, terutama sebagai seorang wanita wajib untuk menjadi teladan dalam rumah karena bekaitan dengan kebersihan serta menegur anggota keluarga yang teledor.
Oleh karena itu saya Eunike selaku mahasiswi bioteknologi mengajak untuk pembaca turut serta dalam pencegahan leptospirosis yaitu bisa dimulai dari perilaku hidup bersih seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak menimbun sampah, menutup lubang atau saluran yang berpotensi menjadi jalan masuknya tikus, menjaga kebersihan lingkungan rumah yaitu dengan rajin menyapu dan mengepel, membersihkan saluran yang mampet atau kotor, membiasakan diri untuk selalu menggunakan alas kaki dengan begitu potensi tikus untuk masuk dan tinggal di dalam rumah serta potensi anggota keluarga untuk kontak langsung dengan urin tikus menjadi kecil dan dengan ini dapat mencegah anggota keluarga untuk terkena penyakit leptospirosis.
Pencegahan leptospirosis merupakan tugas kita bersama, berbagi pengetahuan tentang leptospirosis merupakan kunci utama. Dengan pengetahuan yang diperoleh, kesadaran dari masyarakat akan semakin meningkat. Masyarakat akan terdorong untuk dapat menjaga kebersihan lingkungan, dapat mengaplikasikan perilaku hidup bersih dan sehat, dan pada tahap selanjutnya dapat mengembangkan suatu metode pencegahan serta pengendalian vektor dan reservoir penyakit yang ada di lingkungan mereka. Terciptanya perilaku tersebut menjadi bukti dari peningkatan kesadaran masyarakat yang akhirnya dapat menekan jumlah kasus leptospirosis yang terjadi.
Artikel ini ditulis oleh Eunike Sonia Harsono
Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana
[diupload oleh Avrilia Wahyuana]