SoloposFM – Rencana pembangunan plaza Manahan solo dengan mengorbankan beberapa pohon cemara tua di kawasan tersebut terus memantik polemik di tengah masyarakat. Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo bahkan mempertegas rencana itu dengan memberi lampu hijau penebangan pohon cemara. Alasannya simpel, pohon cemara itu nantinya dikhawatirkan mengganggu pemandangan ke arah plaza Manahan.
Walikota memang mewanti-wanti kontraktor pembangunan dan dinas terkait untuk menepati aturan penggantian pohon yang ditebang. Jika merujuk pada Perda Nomor 10 tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 56 ayat 2 berbunyi setiap orang yang mengajukan permohonan penebangan pohon dan atau tanaman wajib mengganti menanam pohon atau tanaman pengganti sejenis, paling sedikit 10 kali dari jumlah pohon atau tanaman yang akan ditebang. Tinggi penggantian tanaman atau pohon minimal tiga meter.
Secara aturan, rasanya memang tidak ada masalah. Toh pohon yang masuk daftar tebang nantinya juga bakal diganti. Bahkan jumlahnya 10 kali lipat dari jumlah yang ditebang. Tapi apakah sedangkal itu pemikiran kita? Aturan dibikin bukan untuk sarana mengamankan diri dari kebijakan kontroversial. Apalagi kebijakan itu terkesan mengorbankan apa yang sudah ada. Mengorbankan apa yang sudah tertata. Ya, kenapa pohon yang sudah menjadi ikon Manahan harus ditebang? Apalagi jika alasan mendasarnya lantaran menghalangi pemandangan ke arah plaza Manahan.
Apakah pemkot maupun kontraktor pembangunan tak bisa berkompromi dengan lingkungan? Jika dianggap mengganggu pemandangan dengan memangkas ranting dan daun agar lebih rapi bukankah itu cukup? Sesuaikan saja tingkat kerapian ranting dan daun cemara itu dengan arah pandang ke plaza Manahan. Pohon cemara tua yang masih kokoh berdiri itu biarkan tetap hidup untuk merindangi area Manahan. Sementara, proyek pembangunan plaza Manahan juga biarkan berlanjut demi mempercantik dan menambah megah wajah Manahan.