SoloposFM, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020.
Dalam PP Nomor 70/2020 itu diatur berbagai cara mengenai pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitas dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar mengatakan penerbitan peraturan pemerintah (PP) mengenai kebiri kimia serta pemasangan pendeteksi elektronik pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak ditujukan untuk membuat jera pelaku kejahatan tersebut.
Baca juga :
Mayoritas Pendengar Solopos FM Masih Mengharapkan Bansos dan Stimulus di 2021
Namun, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritisi PP Nomor 70 Tahun 2020 yang salah satunya soal kebiri kimia. Dinilainya, hal ini akan memakan anggaran yang besar.
Pasalnya, selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia. Sedangkan, jika diperbandingan anggaran untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, masih minim. Fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana.
Pendapat Sahabat Kapas
Yuka Risa, Manajer Program Rehabilitasi anak dari organisasi pemerhati anak dan perempuan di Solo, Sahabat Kapas, dalam Dinamika 103 Solopos FM, Selasa (05/01/2021), mengungkapkan dalam penerapan Pepu ini harus digali akar permasalahan mengapa mereka melakukan tindak pidana itu.
“Kebiri bagi yang dewasa, bagaimana dengan pelaku anak? Kebiri kimia masih kurang tepat. Perpu ada bagian rehabilitasinya harus diperdalam lagi, ada rehabilitasi psikis yang ditekankan. Jangan yang kuratif saja yang kimianya. Pelaku juga disembuhkan, akar permasalahnnya dicari, pemulihan tepat sasaran, tindakan intervensi yang tepat agar dia tidak mengulangi kejahatan yang sama,” papar Risa.
Dalam kesempatan ini, Risa juga meminta penanganan korban lebih dimaksimalkan. Menurutnya upaya melindungi korban hingga saat ini masih minim.
“Diperkuat lagi untuk trauma healingnya. Akan berbeda beda penanganan untuk anak sesuai usia. Apalagi untuk akumulasi kasus berulang sehingga dibutuhkan banyak stakeholder dengan keahlian dibidangnya. Proses harus setara dan seimbang,” jelasnya.
Mengingat Perpu ini sudah diundangkan, Risa berharap aparat penegak hukum jangan terburu-buru menggunakannya.
“Harus melakukan pendekatan perspektif dulu ke masyarakat bahwa pemulihan pelaku juga penting agar tidak ada pengulangan tindak pidana,” pungkas Risa.
Opini pendengar Solopos FM
Sementara itu, opini pendengar Dinamika 103 Solopos FM, Selasa (05/01/2021), hampir semuanya setuju dengan penerapan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak.
Berikut sejumlah opini mereka :
“Saya setuju banget hukuman kebiri dilaksanakan agar yang mau melakukan pelecehan seksual terhadap anak takut dan jera,” ungkap Priyanto Sasongko.
“Setuju. Tapi juga harus di gali sebab dan akibat,” tulis Sulung di Kebakkramat.
“Hukuman kebiri sdh banyak diterapkan di Negara-negara yang berpaham sekuler, ini adalah bentuk perang dan perlawanan mereka terhadap kejahatan sexual, khususnya terhadap predator anak. Sudah saatnya kebijakan hukuman kebiri diterapkan dan diaplikasikan oleh bangsa ini untuk melindungi anak-anak kita dari bentuk kekerasan dan kejahatan tersebut!,” ungkap Ahmad Sanusi.
“Setuju sekali cuma kenapa tidak dari dulu, terlanjur banyak korbannya. Kalauo bisa tidak usah dikembalikan lagi fungsinya,” ungkap M Syamsuddin.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]