SoloposFM – Ancaman hukuman mati terhadap pejabat yang diduga menyelewengkan dana bantuan sosial pandemi Covid-19 memicu pro-kontra usai mantan Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka.
Jika ditemukan bukti kuat, terdapat konstruksi hukum yang memungkinkan Juliari dan empat tersangka lainnya dijatuhi hukuman mati.
Hukuman itu dinilai layak dijatuhkan karena selain merugikan negara, para koruptor juga telah menyakiti hati dan mengkhianati amanat yang diberikan rakyat. Terlebih korupsi itu dilakukan, saat pandemi dan resesi.
Pendapat Pendengar
Terkait dengan ancaman hukuman mati bagi koruptor ini, hampir 100% pendengar yang bergabung dalam sesi Dinamika 103 Solopos FM, Rabu (16/12/2020), menyatakan setuju. Bahkan pada polling yang dilakukan melalui akun instagram @soloposfmsolo, 100% pendengar menyatakan setuju.
Maria, salah satu pendengar Solopos FM mengatakan, “Sangat setuju. Sebelum dihukum mati dipermalukan dulu dengan diarak, sekalian dimiskinkan. Hukum bagi koruptor di Indonesia terlalu ringan, jadi orang tidak takut. HAM bagi mereka tidak berlaku.”
Pendapat senada disampaikan Ahmad dari Nayu, “Setuju sekali. Untuk perampasan aset dan hukuman seumur hidup atau minimal 50 tahun. Dimiskinkan. Mau dihibahkan kemana saja semua aset harus disita atau dikembalikan ke negara.”
Sedangkan menurut Sulistyo, “Tentang hukuman mati bagi koruptor, jangan cuma ngancam atau warning. Do it as soon as possible.”
Di sisi lain, masih ada pendengar yang menyatakan tidak setuju dengan wacana hukuman mati bagi korupstor tersebut. Hal itu seperti disampaikan Sulung, di Kebakkramat, “Hukuman mati? Tidak setuju! Memangnya nyawa punyanya siapa? Mending dibikin sengsara atau dimiskinkan satu keluarga.”
Sedangkan menurut Ucok, “Saya kurang setuju karena hukum positif kita belum pasti dan masih pro dan kontra. Solusinya diambil jalan tengah, harus dipastikan koruptor dihukum seumur hidup dan seluruh harta kekayaannya dirampas buat negara. Hukuman mati mungkin akan membawa efek jera tapi ternyata tidak terbukti. Seperti narkoba, dihukum mati ternyata masih banyak pelaku pengedar narkoba.”
Pendapat Narasumber
Sementara itu, Khresna Bayu Sangka, S.E., M.M., Ph.D. Kepala Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi (PUSTAPAKO) Universitas Sebelas Maret mengatakan hukuman mati bisa diberikan kepada koruptor karena terdapat konstruksi hukum yang memungkinkan. Hanya saja nantinya kembali lagi pada proses peradilan.
Terkait dengan efektifitas hukuman mati untuk membuat koruptor jera, menurutnya hal itu tergantung pada penegakan hukuman terhadap koruptor itu sendiri.
“Kalau soal efektif tidaknya, hukuman mati sebenarnya tidak efektif. Seharusnya lebih pada penegakan hukuman terhadap koruptor, misalnya dimiskinkan, dan sebagainya. Karena koruptor itu bukan takut mati tapi takut miskin,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa perampasan aset dan pemiskinan bagi pelaku korupsi, secara konseptual adalah apa yang dia korupsi harus dikembalikan pada negara. “Misalnya korupsinya 10 milyar, ya dia harus mengembalikan 10 milyar rupiah. Tapi selama ini kan tidak demikian.”
[Diunggah oleh Mita Kusuma]