SoloposFM, Harga cabai rawit hingga kini masih stabil tinggi. Di Klaten, harga cabai mencapai Rp120.000 per kg. Harga stabil pada Rp120.000 per kg dari sebelumnya Rp110.000 per kg itu sudah bertahan selama sepekan terakhir dan hanya pada jenis cabai rawit merah. Sementara, harga cabai keriting maupun teropong masih normal kisaran Rp25.000-Rp50.000 per kg.
Para pedagang memilih tak menjual cabai dalam jumlah banyak selagi harga cabai masih selangit. Kabid Perdagangan Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM (Disdagkop dan UKM) Klaten, Mursidi, mengatakan selama ini cabai yang dijual pedagang berasal dari luar kabupaten seperti Temanggung, Boyolali, serta dari wilayah Jawa Timur. Tingginya harga cabai, diduga lantaran pasokan menyusut. Para petani mengalami gagal panen lantaran faktor cuaca.
Pedagang Tak Berani Stok Banyak
Di Karanganyar, tingginya harga cabai sudah berlangsung selama lebih dari dua pekan lamanya. Hingga saat ini, harga cabai rawit merah di sejumlah pasar di Karanganyar tembus hingga Rp135.000 per kilogramnya.
Baca juga : Meski Kangen Seni Pertunjukan, Pendengar Solopos Masih Ragu Datangi Pentas Seni Kala Pandemi
Pantauan Solopos di Pasar Tawangmangu dan Pasar Jungke, Karanganyar beberapa pedagang pasar tidak berani menyimpan stok cabai rawit merah dengan jumlah banyak. Hal ini lantaran ditakutkan risiko layunya cabai yang dijual justru berdampak pada kerugian lantaran harga yang masih tinggi.
Selain itu, beberapa pedagang di Pasar Tawangmangu menyiasati hal tersebut dengan memilih menjual cabai rawit merah berukuran besar dari Boyolali lantaran lebih murah dibandingkan cabai rawit ukuran kecil.
Supply dan Demand
Masalah mahalnya harga cabai ini selalu berulang setiap tahunnya. Rasanya seperti masalah abadi yang tidak pernah selesai. Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengungkapkan masalah harga cabai ini sebenarnya terjadi karena persoalan supply dan demand.
DR MULYANTO, ME, Pengamat Ekonomi dari Universitas Sebelas Maret, dalam Dinamika Kamis (25/03/2021) mengungkapkan kenaikan harga seperti ini masih akan terjadi selama tidak ada pengembangan teknologi budidaya yang memungkinkan untuk memproduksi cabai di luar musim.
“Antisipasi harusnya dari sisi suplay, ahli inovasi pertanian memperbanyak inovasi agar ketersediaan terjaga. Jika hal ini terjaga, maka harga akan terkendali, sehingga tidak terjadi inflasi,” paparnya.
Kondisi harga cabai yang malah, menurut Mulyanto jangan sampai menjadi kesempatan pemilik restorant untuk menaikkan harga. Gerakan menanam cabai sendiri menurutnya bagus, namun hanya cukup untuk konsumsi rumah tangga. Sementara kebutuhan skala besar seperti hotel dan restoran hingga usaha catering, harus ada solusi lain.
“Pemerintah harus bersinergi. Bagian perekonomian dengan tim pengendali inflasi daerah (TPID), BPS hingga Bank Indonesia. Entitas itu harus terus berkoordinasi menjaga stabilitas harga. Karena jika inflasi tinggi secara umum, orang akan berpendapat harga tinggi, sehingga harga yang lain juga ikutan naik, tentu hal ini tidka baik untuk perekonomian,” pungkas Mulyanto.
Opini Pendengar Solopos FM
Hasil polling SoloposFM, pada program Dinamika, Selasa (23/03/2021), mayoritas mengaku merasakan atau terdampak kenaikan harga cabai. Sebanyak 73% peserta jajak pendapat mengakui tingginya harga cabai dan berharap harga segera stabil. Sedangkan 27% sisanya menyatakan tidak terpengaruh kenaikan harga cabai.
Berikut sejumlah opini mereka:
“Hari Minggu lalu harga cabe rawit merah di pasar Legi maupun pasar Kadipolo masih Rp120.000 sama dengan harga daging sapi yang kualitas super. Ya akhirnya kita beli sedikit hanya 1 ons atau setengah ons saja. Penggunaan untuk masak juga kita kurangi pedasnya. Selain itu cabe yg sudah kita bersihkan kita simpan di kulkas agar tidak mudah busuk,” ungkap Priyanto.
“Saya bukan penggemar pedas, jadi tidak begitu merasakan kenaikan harganya. Tapi kenaikan harga cabai membuat pedagang ayam bakar dll menaikkan harganya, jadi tolong pihak berwenang segera cari solusinya,” kata Ana di Jebres.
“Sudah dua minggu harganya koq tinggi terus. Saya yang pedagang sampai bingung dan nggak berani stok banyak. Untung nggak seberapa karena harga kulakan sudah tinggi, masih dikomplain pembeli,” tutur Dewi.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]