Radio Solopos — Berapa harga sila kelima apabila bantuan sosial terus-menerus menjadi komoditas politik sementara kegagalan pemerataan kesejahteraan berubah menjadi aksi represif razia pengemis, gelandangan, dan orang telantar – serta satu lagi, pedagang kaki lima?
Berapa harga sila keempat apabila para pejabat eksekutif, legislatif, sampai yudikatif terus-menerus menjadi aktor korupsi sementara kolusi dan nepotisme kian marak seolah negara dikuasai beberapa gelintir keluarga – tontonan kekerasan struktural yang tak tahu malu dan sangat banal?
Berapa harga sila ketiga apabila Papua masih merepresentasikan anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan memadai karena karena minimnya jumlah guru, tingginya angka kematian ibu dan bayi yang berkorelasi pada buruknya layanan kesehatan, hingga insiden penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 lalu, sambil berdoa dalam diam agar insiden Nduga tak terjadi lagi pada masa depan?
Berapa harga sila kedua apabila penjara masih saja menampung dua kali lipat jumlah tahanan dari yang seharusnya, tas dan sepatu seharga mobil baru laris seperti kacang goreng mengabaikan gini ratio yang menganga, sementara mural-mural kritik pada pemerintah selalu saja hilang dalam sekejap mata?
Berapa harga sila pertama apabila kelompok mayoritas agama merasa paling benar – lainnya salah dan sesat – seolah tubuh kebenaran punya motif dan kepentingan?
Jadi, berapa harga sila-sila Pancasila kita? Kenapa seolah eksistensinya menjadi sebatas transaksi? Apakah kelima sila ini memang sungguh-sungguh menjadi cita-cita negara, khususnya para pejabat, dalam memperjuangkan kemanusian dan kesejahteraan warga dengan sepenuh hati? Atau ini sekadar jargon utopia yang tak logis? Seberapa relevan jika sila-sila ini masih hidup, semua orang terus menghafalnya bahkan sejak masih usia anak balita, namun yang terjadi justru berbagai paradoksnya, dan sebagian besar dari kita duduk seolah tak terjadi apa-apa?
Kegelisahan yang membelit saya berhari-hari ini dipicu pertemuan saya dengan seorang penjual kerupuk di Bandung yang bahkan saya tak tahu namanya. Perempuan penjual kerupuk itu duduk berjongkok di trotoar depan toko oleh-oleh, tepat di belakang saya. Saat itu saya sedang berdiri, menatap kosong jalanan Kota Bandung yang ramai, mengindahkan gerimis yang membasahi pakaian saya dengan pasti.
Perhatian saya masih terfokus pada kemacetan sambil berpikir perihal mengapa ada begitu banyak gelandangan yang saya temui selama empat hari di kota ini. Situasi yang begitu berbeda dengan pemandangan yang saya lihat sehari-hari di Kota Solo sehingga saya menyimpannya dalam mata ingatan saya.
Mungkin perempuan penjual kerupuk itu sudah lama menatap saya, saya kurang tahu. Yang saya tahu hanyalah saat dia mengatakan di belakang saya bahwa dia lapar dan dia ingin pulang pada hari yang abu-abu itu. Dia meminta bantuan saya.
Saya tertegun saat mendengar suaranya, merasakan sensasi emosional yang datang tiba-tiba, sebelum kemudian bergegas menghampirinya, memberikan uang yang saya pikir cukup untuk perjalanan 8-9 kali KRL Solo- Jogja. Setelahnya, saya melenggang pergi dengan sedikit kelegaan, membayangkan dia bisa makan dengan layak setidaknya pada hari itu.
Sebagai jurnalis, pemandangan perempuan yang duduk di trotoar adalah pemandangan yang jamak saya temui. Ada beberapa yang situasinya bahkan lebih parah: seperti ketika saya menyaksikan rumah ukuran empat meter kali tiga meter yang dihuni manusia dan kambing, anak seorang buruh bangunan yang meninggal pada umur sepekan karena jantung bocor, perempuan tua di hunian liar yang mengajak saya makan siang dengan nasi dengan rebusan daun ketela dan kerupuk karak, daftarnya masih panjang (sebenarnya).
Kegelisahan merayap, menghampiri saya dari gedung-gedung tinggi yang terasa mengimpit, kepungan mobil keluaran terbaru yang memenuhi jalanan, dan mal-mal yang menawarkan ilusi keberlimpahan. Hujan pertanyaan kali ini membuat saya basah kuyup.
Kenapa ketimpangan ini begitu mencolok mata? Berapa sebenarnya harga sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena sila ini sebenarnya adalah dagangan wajib para politikus saat kampanye dan kita selalu membeli pengharapan itu dengan senang hati tiap lima tahun sekali? Apa yang sebenarnya kita beli? Apa yang sebenarnya mereka jual? Apa yang sebenarnya kita konsumsi?
Mungkin, saya mulai merenung, saya harus beranjak dari pertanyaan mengapa ini terjadi dan beralih menuju apa yang sedang terjadi. Ini mungkin, jika saya merabanya dalam ketidakpastian, berkaitan dengan motif, salah satunya apakah janji itu berbasis altruisme ataukah justru narsisisme politik.
Berbicara perihal altruisme dan narsisisme politik bukan sekadar berbicara perihal perbedaan secara biner, melainkan juga pada cara kerja dan dampaknya. Saya ambil contoh Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bisa ditaruh di keduanya (saat ini saya tidak tahu, namun waktu akan memberikan jawaban).
Sudut pandang altruisme akan menjadikan program ini sebagai bagian struktural dengan kepastian sistem (rantai pasok bahan, distribusi, evaluasi kualitas, dan lainnya), regulasi, maupun nomenklatur karena dampak dan keberlanjutan menjadi dua elemen krusial. Di sudut biner yang lain, sebaliknya, tempat narsisisme politik berada, program ini sejak awal menang sekadar program charity yang berusia pendek. Janji politik yang terbayar lunas dan meneruskan tradisi harga sila kelima yang sekadar utopia.
Perihal sila lain yang juga menggelisahkan saya adalah kekerasan struktural yang terjadi terus-menerus sebagai pembangkangan sila keempat. Sama halnya dengan kekerasan fisik atau kekerasan citra (pada kelompok marginal atau perempuan), kekerasan struktural memberikan dampak jangka panjang yang berupa hilangnya kepercayaan dan kebencian. Menurut saya, luka ini jauh lebih dalam ketimbang luka fisik yang disebabkan oleh kekerasan langsung sehingga sangat sulit disembuhkan (dendam adalah salah satu dampaknya).
Ini bukan hanya tentang pemilu presiden sampai pilkada yang menimbulkan banyak polemik, namun juga bagaimana kekuasaan dari daerah sampai pusat dijalankan oleh segelintir keluarga, kasus Pertamina, pengadaan kapal di PT ASDP Ferry (Persero), dan masih banyak lagi. Sungguh lagi-lagi saya berdoa dalam diam – semoga tak ada kabar yang sama dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) nantinya mengingat saat ini peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia masih di posisi 99 dari 180 negara.
Saya tahu manusia sejak awal memang dirancang tidak sempurna dengan kehidupan yang juga tak sempurna. Namun, bukan berarti kita boleh membuang representasi kemanusiaan, kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan manusia di tempat sampah.
Tuntutan penghormatan dan pengakuan untuk kemanusiaan inilah yang saya pikir melatarbelakangi kelima sila Pancasila lahir – yang menuntut koneksi seluruh penghuni negara, terutama para pengelolanya, untuk bahu-membahu membangun kehidupan yang baik bagi semua, bukan untuk kelompok tertentu saja. Apakah para pejabat itu masih punya nurani? Saya sangat berharap mereka masih punya.
Bandung masih mendung saat mobil yang saya tumpangi mulai meninggalkan pusat kota di tengah guyuran hujan sementara kegelisahan saya makin menjadi. Apalagi ketika lamat-lamat suara Baskara Putra, vokalis Hindia, mulai menyapa telinga. Coba saja Anda dengarkan liriknya:
Berapa harga sila ketiga? Terakhir kudengar hanya berlaku ‘tuk mereka yang tak menyukai sesama….
Oh sialan kau, Baskara. Kau benar sekali!
Ayu Prawitasari (Artikel ini telah dimuat di Espos.id pada Senin (3/3/2025)