SoloposFM–Film “Istirahatlah Kata-Kata” yang bercerita tentang kehidupan aktivis Widji Thukul, tayang serentak di bioskop-bioskop, termasuk di Solo hari ini, Kamis (19/1/2017). Sebelumnya, film yang memiliki judul “Solo, Solitude” ini telah tayang perdana di festival film internasional Locarno International Film Festival ke-69, di Swiss.
Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, film ini berusaha mengungkapkan tentang kisah Widji yang menjadi buron karena dia dianggap sebagai satu dari 14 aktivis yang disebut sebagai pemicu kericuhan penggulingan rezim Orde Baru. Widji pun melarikan diri ke Pontianak selama delapan bulan dan berpindah-pindah. Hingga kini, dirinya tak pernah ditemukan keberadaannya. Banyak rumor yang berkembang bahwa ia diculik dan kemudian mati dibunuh, tapi hingga kini jasadnya pun tak jua diketahui kalau benar telah mati.
Dikutip dari CNN Indonesia, kisah yang dialami Widji itulah yang menjadi dasar pijakan sang sutradara Yosep Anggi Noen dalam menggarap film yang kemudian ia beri judul “Istirahatlah Kata-kata”.
Sosok Widji Thukul diperankan oleh Gunawan Maryanto dan isterinya Sipon diperankan oleh presenter Marissa Anita.
Widji Thukul atau Widji Widodo lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April tahun 1998. Namun Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
Ada tiga sajak Widji Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi “Mencari Tanah Lapang” yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
Selama diputar di festival-festival film internasional, film “Istirahatlah Kata-Kata” mendapat respon yang cukup postif. “Responnya menarik, melalui film ini, orang-orang bertanya soal demokrasi di Indonesia, dan membuat mereka tahu bahwa pernah ada rezim yang menekan,” ujar Anggi.
Dia pun menambahkan bahwa lewat film ia dapat menunjukkan pada publik akan kenyataan Indonesia saat ini.
“Sinema harus menghadirkan Indonesia pada kenyataan, Indonesia yang sedang berkembang dan juga punya kesalahan,” pungkasnya.
Film ini bisa menjadi alternatif pilihan film yang menarik untuk ditonton sekaligus memiliki makna yang mendalam.
Trailer film “Istirahatlah Kata-Kata”
[Dita Primera]