Radio Solopos — Kata oplosan menjadi trending topic pada hari-hari ini. Ada megaskandal Pertamax yang diduga oplosan. Masyarakat seluruh negeri geram setelah muncul dugaan PT Pertamina Patra Niaga mengoplos Pertalite (RON 90) dengan Pertamax (RON 92).
Publik telanjur kehilangan trust sekalipun istilah oplosan itu disanggah oleh Pertamina dengan kata blending. Istilah oplosan dan blending dalam bahasa publik tetap saja artinya mencampur.
Kata ”oplosan” tidak asing bagi masyarakat kita. Secara etimologis kata ”oplosan” diserap dari bahasa Belanda oplossen yang artinya melarutkan atau mencairkan. Dalam konteks kimia, “oplossen” merujuk pada proses suatu zat (biasanya padat) larut dalam pelarut (biasanya cairan) untuk membentuk larutan.
Dalam konteks bahasa Indonesia, kata ”oplosan” lebih umum digunakan merujuk pada campuran, terutama dalam konteks minuman beralkohol yang dicampur dengan bahan lain. Penggunaan kata oplosan bermakna negatif.
Mafia
Di negeri ini bukan hanya bahan bakar minyak (BBM) oplosan yang beredar. Banyak produk kebutuhan masyarakat sering kali dioplos. Ada mafia beras oplosan. Baru saja di Depok, Jawa Barat, kepolisian membongkar beras oplosan di sebuah toko di kawasan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.
Di toko itu beras dari stok Perum Bulog dioplos dengan beras bermerek Permata dan beras menir menjadi kemasan ukuran satu kilogrem bermerek Daun Suji dan Rinjani. Dijual sebagai beras premium.
Beras oplosan seperti menjadi hal biasa. Tujuan mengoplos adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Oplosan beras busuk terjadi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, yang dibongkar aparat kepolisan pada 2020. Mengoplos beras busuk itu berlangsung sejak 2015.
Ada pula mafia gula oplosan. Pada 2021, kepolisian membongkar praktik jual beli gula rafinasi oplosan di Banyumas, Jawa Tengah. Pada 2013, ada berita pabrik gula yang dioplos dengan limbah di Tulungagung, Jawa Timur.
Pada 2022, di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, para perajin gula merah mengeluh karena beredar gula merah oplosan. Gula merah yang terbuat dari gula pasir dicampur air legen kemudian dimasak kembali dan air yang digunakan adalah air parit.
Gula merah juga dioplos dengan bubuk detergen. Pada 2015, kasus gula merah oplosan bubuk detergen terjadi di Pasar Atas, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Di Purwokerto, gula merah oplosan terbuat dari limbah kecap yang dicampur dengan gula rafinasi.
Mafia garam oplosan juga banyak beritanya. Antara pada 20 Februari 2018 memberitakan di Kendari, Sulawesi Tenggara, polisi menangkap seorang pengusaha yang mengoplos garam. Bahan baku garam di gudang dikeluarkan beberapa karung kemudian dihamparkan di bak terpal lalu dicampur dengan bubuk potasium iodat dalam keadaan basah.
Di Jambi, Ponorogo, Surabaya, dan Bali, berita tentang garam oplosan dimuat di berbagai media lokal maupun nasional. Sebuah koran pada 2017 memberitakan warga Jeneponto, Sulawesi Selatan, resah karena garam bercampur pecahan beling
Minyak goreng juga dioplos. Disparitas harga minyak goreng curah yang disubsidi dengan minyak goreng kemasan yang mengikuti harga pasar menyebabkan di beberapa daerah ada mafia minyak goreng oplosan.
Kasus minyak goreng oplosan terjadi pada 2023 di Pasar Wadas, Karawang, Jawa Barat, dan tahun 2024 muncul di Malang, Jawa Timur. Oplosan menjadi mafia yang berulang-ulang. Oplosan meluas ke berbagai kebutuhan dasar masyarakat. Oplosan itu kuno, serakah, kejam, jahat, dan tidak manusiawi.
Relasi Kuasa
Antara pada 19 Mei 2020 memberitakan daging sapi dioplos dengan daging babi. Kasus itu terjadi di Pasar Bengkok, Pinang, Kota Tangerang, Provinsi Banten. Polisi waktu itu menyita 500 kilogram daging sapi yang dioplos dengan daging babi.
Problem daging oplosan yang diberi label halal ada sejak dulu. Satuan Reserse Kriminal Polres Cimahi, Jawa Barat, mengungkap kasus pengoplosan daging celeng dengan daging sapi yang dijual kepada masyarakat sebagai bakso dan rendang.
Pola kejahatan oplosan dalam kasus-kasus yang berskala besar sering kali terorganisasi dan banyak kasus besar itu berkorelasi dengan kekuasaan. Bisa jadi kejahatan oplosan itu hasil kartel dunia usaha berbasis kolusi.
Seperti kartel minyak di Indonesia pada 1990-an yang pelakunya dekat dengan kekuasaan Orde Baru. Sekalipun Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, faktanya ada kartel gula, ada perjanjian tertutup antarimportir dan pengecer, ada merger usaha yang merugikan masyarakat.
Dulu, akibat kebijakan monopoli oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20 melahirkan praktik oplosan. Koran De Sumatra Post terbitan 16 Oktober 1908 memberitakan peredaran minuman oplosan di kalangan buruh perkebunan di wilayah Sumatra.
Minuman oplosan itu merusak harga minuman keras yang dimonopoli pemerintah kolonial lewat accijn van sterke dranken (pajak minuman keras). Dampak praktik monopoli minuman keras di era kolonial dulu bukan saja soal ekonomi melainkan dimanfaatkan oleh golongan komunis untuk membuat para pekerja perkebunan di Sumatra menjadi berwatak radikal.
Dari dulu sampai sekarang soal oplosan menjadi ironi. Mungkin hanya satu bentuk oplosan yang digemari masyarakat, yaitu oplosan teh. Di Kota Solo kondang teh oplosan. Lihatlah kemasan teh oplosan yang dijajakan di Pasar Gede, Kota Solo, yang dicari-cari pengunjung dari luar kota.
Teh oplosan itu menjadi cita rasa tersendiri bagi penikmat teh. Dengan kata lain teh oplosan itu lebih tepat disebut teh racikan. Tentu tidak tepat digunakan untuk menyebut Pertamax racikan.
(Tundjung W. Sutirto, dosen di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UNS. Esai ini terbit di Espos.id Jumat, 14 Maret 2025)