SoloposFM – Pepadi dan Kebudayaan Kota Solo mempersembahkan pagelaran wayang kulit dengan dalang ki Purbo Asmoro, S.Kar., M.Hum dan ki Kukuh Indasmara, S.Sn bersamaan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2019 tingkat Jawa Tengah di Pendapi Gedhe Balaikota Solo, Jawa Tengah. Masyarakat pecinta wayang kulit tampak memadati Balaikota, Sabtu, (27/4/2019) malam.
Sebagaimana rilis yang diterima Solopos FM, Rudy Wirotomo, S.IP., MA sekretaris pepadi solo mengatakan jadi tafsir ki Purbo Asmoro kemarin adalah bagaimana semua pihak kemudian menafsirkan dan memegang teguh kebenaran menurut versinya sendiri.
“Ketidakmampuan untuk menahan diri dan berkompromi untuk mencapai kerukunan pada akhirnya menumbuhkan malapetaka besar,” ujarnya.
Bahkan karena kebenaran yang dipegang masing masing pihak, pendapat lain akan tertolak meskipun mereka menyampaikan fakta juga. Sebagai contoh Duryudana yang menuduh Narada membantu para Pandawa dengan alat Kresna.
“Tafsir Ki Purbo Asmoro terhadap lakon Kresna Duta kali ini sangat kontekstual dan aktual dalam suasana pasca Pemilihan Umum, di mana semua pihak diharapkan melepas ego dan sentimen antar golongannya. Padahal Narada sebagai saksi menjalankan peranan netral. Sehingga apapun hasil akhirnya, semua harus tetap komit untuk terus membangun negara dalam koridor sebuah bangsa yang bersatu,” imbuhnya.
Kresna sebagai Duta Pamungkas dari Pandawa dalam meminta kembali kekuasaan Indraprastha dari tangan Kurawa. Duryudana memegang kukuh kekuasaan Indraprastha tak akan diberikan kembali kepada pihak Pandawa. Ia berjanji jika menginginkan kembalinya Indraprastha maka harus ditebus dengan perang Bharatayuda. Maka terjadilah perang Bharatayuda antara pihak Pandawa dengan Kurawa.
Agung Sudarwanto, M.Sn anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kota Solo. Janganlah kita terbuai dengan kekuasaan kekayaan yang bersifat sementara. Ketika seseorang telah terbuai “gebyaring kahanan” maka kita akan lupa diri, menghalalkan berbagai cara demi terwujudnya keinginan.
“Mandi ora kaya ucape”, sebagaimana Duryudana yang mengungkapkan sumpah, bahwa Pandawa diperbolehkan menerima kembalinya Indraprastha jika dirinya sudah “mati”. Maka ucapan tersebut disaksikan para dewa, terjadilah Perang Baratayuda sebagai sarana lenyapnya keangkaramurkaan,” tandasnya.
[Avrilia Wahyuana]