SoloposFm – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyerahkan nama-nama perwira tinggi Polri, yang masuk kriteria layak menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti, yang memasuki masa pensiun pada Juli mendatang. Sejumlah Jenderal bintang tiga masuk bursa sebagai calon Kapolri antara lain Waka Polri Komjen Budi Gunawan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso, Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno, Kepala BNPT Komjen Tito Karnavian, Irwasum Komjen Dwi Priyatno, Kalemdikpol Komjen Syafruddin dan Sestama Lemhanas Komjen Suhardi Alius. Dari ketujuh orang tersebut, nama Budi Gunawan dan Budi Waseso yang sementara ini dinilai punya peluang paling besar menjabat sebagai Kapolri. Meski keduanya memiliki catatan soal rekam jejak dan sempat menimbulkan kegaduhan.
Di sisi lain, Komisi III DPR memberi sinyal bahwa pergantian Kapolri tidak bisa dilakukan pada waktunya. Meskipun Presiden Joko Widodo berencana menyerahkan usulan nama-nama calon Kapolri, sebelum masa reses DPR, rangkaian proses dan tahapan yang harus dilalui tidak memungkinkan untuk menetapkan Kapolri baru. DPR akan memasuki masa reses pada 28 Juni, sementara masa bakti Kapolri akan berakhir pada 28 Juli 2016 saat Kapolri Jenderal Badrodin Haiti memasuki usia 58 tahun. Kalau pada akhirnya pergantian Kapolri tidak bisa dilakukan pada waktunya, pilihan yang tersisa adalah memperpanjang masa dinas aktif Jenderal Badrodin Haiti. Itu artinya, Presiden harus menerbitkan Perppu, karena UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menetapkan bahwa usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun.
Terlepas dari persoalan apakan masa pensiun Kapolri akan diperpanjang dan perdebatan soal siapa figur yang tepat, pemilihan Kapolri menjadi pertaruhan komitmen Presiden Jokowi terhadap konsep Nawacita yang didengungkan saat berkampanye. Artinya, siapa pun calon Kapolri dari Presiden harus sesuai dengan semangat Nawacita, yaitu figur yang bersih, kompeten, antikorupsi dan berkomitmen dalam penegakan hukum.
Kita berharap, pemilihan Kapolri tidak didasarkan pada politik “balas budi” atau kedekatan dengan partai politik. Kapolri bukanlah jabatan politik, sehingga Presiden Jokowi harus dalam posisi yang independent, ketika memilih figur Kapolri dan bukan karena titipan atau tekanan elit partai politik tertentu. Hal ini penting agar upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh pihak Kepolisian mendatang tidak dibajak oleh kepentingan politik. Presiden juga sebaiknya melibatkan lembaga lain seperti KPK, PPATK, Komnas HAM atau masyarakat untuk melihat rekam jejak calon Kapolri secara utuh agar tidak salah memilih orang bermasalah menjadi Kapolri.