Radio Solopos — Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki beragam tradisi unik untuk merayakan dan menyemarakkan Ramadan.
Di antara tradisi yang penuh makna tersebut ada kebiasaan yang justru berkembang menjadi pemicu konflik atau ”bunga api”, salah satunya adalah perang sarung.
Pada setiap Ramadan perang sarung kerap terjadi di berbagai daerah, bahkan menjadi bagian pemberitaan media massa sepanjang bulan puasa.
Tradisi ini biasanya melibatkan sekelompok remaja yang menggulung sarung mereka, mengikat ujungnya, dan menggunakannya sebagai senjata untuk saling mencambuk atau memukul lawan, sering kali dilakukan menjelang waktu sahur.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan perang sarung mulai ada di Indonesia. Banyak yang meyakini tradisi ini telah berlangsung sejak lama, khususnya pada sepanjang Ramadan.
Beberapa pihak mengaitkan dengan pengaruh pencak silat, seni bela diri tradisional Indonesia yang memiliki unsur ketangkasan dan pertarungan.
Sayangnya, seiring waktu, perang sarung mengalami pergeseran makna. Dari sekadar permainan antar-remaja, kini berubah menjadi aksi yang berpotensi menimbulkan konflik, bahkan menelan korban jiwa.
Tantangan antarkelompok di media sosial semakin memperburuk situasi. Para remaja dan pemuda tidak hanya beradu sarung, tetapi juga memasukkan benda tumpul seperti kayu dan batu ke dalam simpul sarung mereka.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2024 mencatat 264 kasus kekerasan fisik terhadap anak. Ada tiga korban yang meninggal dunia akibat perang sarung pada Ramadan tahun itu.
Angka ini menurun sedikit daripada tahun sebelumnya yang mencatat lima korban jiwa. Jumlah korban, sedikit atau banyak, harus menjadi keprihatinan serius. Salah satu tragedi terbaru terjadi di Pekanbaru, Riau, pada awal Ramadan 2025.
Seorang remaja berusia 15 tahun meninggal setelah dikeroyok oleh sekelompok remaja. Insiden ini bermula dari perang sarung yang tidak seimbang. Kelompok remaja yang meninggal itu kalah jumlah dan teman-temannya melarikan diri, meninggalkan dia seorang diri hingga menjadi sasaran amukan lawan.
Empat remaja yang terlibat dalam insiden itu berusia 13 hingga 14 tahun. Mereka kini berstatus tersangka dan diproses hukum kendati masih berstatus anak-anak.
Meskipun perang sarung telah dianggap sebagai bagian tradisi Ramadan, perlu upaya nyata menghentikan praktik yang berisiko ini. Berbagai langkah pencegahan telah dilakukan, termasuk razia oleh aparat kepolisian.
Tanggung Jawab Bersama
Kenyataannya, aksi ini tetap terjadi setiap tahun, bahkan semakin berbahaya. Orang tua memiliki peran penting mencegah anak-anak mereka terlibat dalam perang sarung. Pengawasan yang lebih ketat, terutama pada malam hari setelah Salat Tarawih hingga menjelang sahur, menjadi langkah pertama yang dapat dilakukan.
Penting bagi orang tua memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka tentang bahaya perang sarung dari segi keselamatan maupun konsekuensi hukum. Dengan mengarahkan mereka pada kegiatan yang lebih positif, seperti tadarus, kajian agama, atau olahraga ringan, anak-anak dapat memiliki alternatif bermain yang lebih bermanfaat.
Para guru di sekolah dan pemuka agama juga memiliki peran besar dalam memberikan edukasi kepada anak-anak mengenai bahaya perang sarung. Sosialisasi yang berkelanjutan di lingkungan sekolah dan masjid atau musala dapat membantu membangun kesadaran di kalangan remaja bahwa Ramadan adalah bulan penuh berkah yang seharusnya diisi dengan aktivitas yang lebih bermakna.
Nilai-nilai persaudaraan, gotong royong, dan saling menghormati harus lebih ditekankan agar mereka tidak tergoda untuk melakukan aksi yang justru berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Tokoh masyarakat juga dapat turut serta dengan menginisiasi patroli malam bersama warga guna mencegah perang sarung terjadi di lingkungan mereka. Dengan pengawasan dari masyarakat sekitar, para remaja akan berpikir dua kali sebelum terlibat dalam aksi ini.
Inisiatif untuk mengadakan kegiatan alternatif pada malam hari, seperti festival Ramadan atau perlombaan islami, dapat menjadi solusi agar mereka tetap memiliki wadah untuk menyalurkan energi mereka secara positif.
Media massa juga memiliki peran yang tak kalah penting. Pemberitaan mengenai perang sarung sebaiknya lebih menekankan pada dampak negatif daripada hanya menampilkan fenomena ini sebagai tren musiman.
Dengan menggambarkan perang sarung sebagai tindakan berbahaya yang bisa berujung pada konsekuensi hukum dan korban jiwa, diharapkan anak-anak dan remaja menjadi lebih sadar akan risiko yang mereka hadapi jika tetap melakukan.
Masih banyak kegiatan lain yang lebih bermanfaat pada Ramadan, seperti lomba islami, berbagi takjil, atau kegiatan sosial lainnya. Media massa dan masyarakat harus berperan dalam mendorong perubahan positif, bukan hanya memberitakan perang sarung sebagai fenomena musiman tanpa memberikan solusi.
Pada akhirnya, Ramadan seharusnya menjadi bulan penuh berkah dan kedamaian, bukan ajang pertikaian. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, perang sarung bisa dicegah dan generasi muda bisa diarahkan ke aktivitas yang lebih positif dan bermakna.
(Imam Yuda Saputra, Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Maret 2025)