SoloposFM, Ledakan besar terjadi di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Pastor Gereja Katedral Makassar, Wilhelmus Tulak, menjelaskan bom bunuh diri terjadi tepat di depan gerbang gereja pada pukul 10.30 WITA usai ibadah kedua atau misa kedua. Ia menjelaskan dua orang yang diduga pelaku bom bunuh diri mengendarai motor dan mencoba masuk ke dalam saat transisi menuju ibadah ketiga. Namun, aksi tersebut digagalkan oleh petugas keamanan yang sudah mengamati.
Insiden bom bunuh diri di tempat ibadah bukan hanya kali ini terjadi. Namun, kejadian ini sebagai bom bunuh diri pertama di masa pandemi Covid-19.
HAM dan Agama Tidak Membenarkan
Amnesty International Indonesia menilai, aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) bentuk penghinaan berat terhadap prinsip fundamental hak asasi manusia (HAM).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penyerangan dan pembunuhan secara sengaja terhadap laki-laki, perempuan dan anak-anak yang sedang menjalani kehidupan sehari-hari tidak pernah dapat dibenarkan. Termasuk dalam aksi bom bunuh diri tersebut.
Baca juga : Meski Kangen Seni Pertunjukan, Pendengar Solopos Masih Ragu Datangi Pentas Seni Kala Pandemi
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, mengatakan, warga NU mengutuk keras bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar. Apalagi, terjadi pada saat umat Kristiani sedang melakukan ibadah merayakan Minggu Palma.
Said Aqil menegaskan, agama apapun tidak membenarkan tindakan teror dan kekerasan. Bahkan, kata dia, Islam mengutuk keras tindakan kekerasan dalam bentuk apapun.
Kelompok Terkucilkan
Sementara itu, dalam program Dinamika 103 Solopos FM, Senin (29/03/2021), Aby Moubharok dari Lembaga Kajian Lintas Kultural mengungkapkan masih terjadinya teror tersebut menunjukkan kelompok yang tergabung dalam sel-sel tidur teroris, keluar mencari perhatian aparat. Untuk itu kedepannya aparat harus lebih ekstra mengantisipasi.
“Harus diakui masih ada kelompok yang menilai semua hal yang berbeda dari kelompoknya harus dilenyakan. Memang memilih jelang perayaan agama, dimana jemaat berkumpul untuk ibadah. Serangan dim omen ini dinilai mereka efektif,” papar Aby.
Perbedaan keyakinan adalah sebuah keniscayaan di dunia. Namun kondisi saat ini sebenarnya sudah lebih baik lagi.
“Ada kelompok yang masih tidak suka dan sakit hati atas perlakuan kelompok lain di tempat lain. Mereka merasa terdzolimi terkucilkan teraniaya karena melihat saudara di tempat lain teraniaya. Hal ini mereka lampiaskan ke lingkungan. Mereka merasa terdzolimi, tapi tidak tepat, salah tempat dan salah pemikiran. Kalau ingin melampiaskan langsung ya di zona perang tersebut, padahal Indonesia bukan zona perang,” ungkap Aby lebih lanjut.
Aby menyarankan kepada pihak terkait untuk mengedepankan upaya persuasif dalam menghadapi orang-orang intoleran dan radikal tersebut. Jangan sampai aparat juga melakukan hal yang intoleran kepada kelompok tersebut.
“Pemerintah selalu mengatakan soal toleransi tapi jangan sampai intoleran kepada mereka. Salah satu upaya dengan melibatkan mereka dalam aktivitas terbuka atau prural. Pendekatan persuasive. Mereka perlu diperhatikan. Memang memerlukan pemikiran, tenaga dan kolaborasi komponen bangsa,” jelas Aby.
Dia menekankan untuk meredam kelompok ini tidak bisa dengan pendekatan keamanan semata. Mereka perlu dirangkul agar terbuka wawasannya.
“Mereka selama ini merasa terasing atau terkucil. Paadahal mereka mengucilkan diri. Jadi ajak meraka. Libatkan mereka agar terbuka wawasannya. Karena kebersamaan bukan hanya demi kepentigan sesaat,” pungkas Aby.
Opini Pendengar Solopos FM
Hasil polling SoloposFM, pada program Dinamika, Senin (29/03/2021), menunjukkan 60% responden menilai menghargai perbedaan itu penting dan harus dilakukan. Namun 40% sisanya menyebut hal itu masih sulit diterapkan.
Berikut sejumlah opini pendengar Solopos FM:
“Turut prihatin dengan kejadian bom gereja Katedral Makassar kemarin. Semoga, tidak bertambah korban jiwa lebih banyak lagi. Sungguh miris,” dari Sriyatmo.
“Menghargai perbedaan adalah mereka yang tidak membenci sesuatu yang berbeda dengan kita. Kita harus menghormati perbedaan itu sendiri karena apapun agamanya pasti mengajarkan kasih sayang bukan kekerasan,” tulis Heru di Mojosongo.
“Kayanya jelang hari raya selalu jadi momen serangan. Kenapa aparat masih saja kecolongan. Masyarakat juga harus mewaspadai jika ada tetangga yang perilakunya mencurigakan,” kata Dewi di Jebres.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]