SoloposFM, Dalam kurun sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun. Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menyebutkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% pada 2018. Padahal RPJMN 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4% pada 2019.
Survei yang dilakukan Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (KAKAK) pada 2020 mendapati iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS) yang masih dibolehkan, akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli dimana-mana, membuat perilaku merokok dianggap biasa.
Baca juga : Denda Tilang Diganti Vaksinasi, Sobat Solopos : Jangan Jadi Blunder!
“Diantaranya dengan adanya iklan rokok yang menyebutkan harga per batang Rp1.000 atau Rp2.000 membuat anak bisa mengukur uang sakunya untuk membeli rokok. Anak melihat ke sekitarnya akan meniru, sehinga orangtua berperan besar mencegah perokok anak,” papar Shoim.
Iklan Sasar Perokok Pemula
Ia menjelaskan dari 51 anak yang diwawancarai kala survey, iklan rokok memang sangat mempengaruhi mereka. Penggambaran gaya hidup yang keren hingga model iklan yang muda, menunjukkan bahwa iklan tersebut diperuntukkan bagi perokok pemula.
“Penjualan produk ini memang harus dikendalikan. Pemangku kebijakan harus mengembangkan kebijakan untuk lebih melindungin anak. Terutama mencegak anak agar tidak menjadi perokok pemula. Regulasi yang ada juga harus tegas impelementasinya,” ungkap Shoim lebih lanjut.
Baca juga : Solo Di Mata Pemandu Wisata
Pihaknya berupaya menguatkan program di sejumlah Kampung Bebas Asap Rokok (KBAR) di Solo. Program yang menggandeng Forum Anak dan Pemuda Penggerak itu sedikitnya melaksanakan berbagai kegiatan, meliputi pendataan perokok anak dan dewasa dan pendataan warung yang menjual rokok dan mengiklankan. Kemudian mendata perokok di dalam rumah, mengembangkan tanaman pengurai polutan, melakukan berbagai kegiatan kampanye dan edukasi di masyarakat.
“KBAR adalah salah satu cara pendekatan untuk menekan perokok anak mulai dari tingkat masyarakat. Bagaimana agar anak di rumah tidak melihat orangtua yang merokok karena mereka adalah panutan. KBAR menyediakan tempat tersendiri untuk perokok, kecuali di rumah. Ini juga untuk meningkatkan kualitas kesehatan anak. Kami juga ingin agar iklan rokok yang kelihatannya biasa itu tidak ada di lingkungan KBAR,” jelasnya. Hingga awal 2021, sebanyak 76 KBAR telah terbentuk.
Opini Sobat Solopos
Dalam Dinamika 103 SoloposFM, Rabu (06/10/2021), 40% Sobat Solopos menilai iklan rokok sangat berpengaruh menjadikan anak menjadi perokok pemula. Sedangkan 60% Sobat Solopos menganggap meningkatnya jumlah perokok anak tidak hanya karena pengaruh iklan rokok.
Berikut sejumlah opini Sobat Solopos:
“Perokok anak naik, penyebabnya terlalu gampang beli. Tidak ada aturan bagi para penjual dan pembeli. Bahkan ortu sendiri sering nyuruh anak beli rokok. Mohon untuk pembeli harus tunjukan KTP. Harus ada aturan khusus tidak terlalu gampang menjual bagi anak-anak. Penjual rokok eceran juga bisa mempengaruhi jumlah perokok,’” tulis Sulung.
“Harus ada kampanye gerakan anti rokok untuk anak-anak. Mengingat di lingkungan komunal sangat mudah menerima berita viral,” tulis Bernardus Rendy di Ambarawa.
“Penyebab anak merokok karena anak melihat atau modelling dari orang dewasa sekitarnya, iklan rokok yang menggiurkan, iklan visual atau audiovisual,” ungkap Rita.
“Menurut saya yang menjadi penyebab banyaknya usia muda merokok di negara kita penyebabnya bukan iklan tetapi lingkungan terkecil, terutama keluarga dimana ayah atau ibunya perokok aktif, kemudian pergaulan teman-temannya biasanya awalnya coba-coba akhirnya jadi kecanduan. Untuk tidak merokok juga diperlukan iman yang kuat dan tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun demi menjaga kesehatan. Ini pengalaman pribadi saya mbak meski alm ayah saya dulu perokok tapi Alhamdulillah saya dan adik saya tidak merokok dari remaja hingga sekarang bahkan pengaruh teman sekolah sampai kantorpun saya tetap tidak terpengaruh,” papar Priyanto.
[Diunggah oleh Avrilia Wahyuana]