Radio Solopos — Eropa sedang berubah. Pengakuan sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, Belgium, Australia, Monaco, Malta, dan lain-lain pada negara Palestina sebagaimana disampaikan di Sidang ke-80 PBB merupakan kejutan yang bersejarah.
Mengapa bersejarah? Karena negara-negara tersebut adalah selama ini menjadi sekutu dekat AS dan Israel yang dinilai mustahil melakukannya. Tekanan publik dan parlemen dianggap berjasa dalam mendorong para pemimpin negara tersebut memilih mengakui negara Palestina. Italia, di sisi lain, kini sedang menghadapi gelombang demonstrasi besar yang menuntut agar PM Giogio Meloni segera melakukan hal yang sama, mengakui negara Palestina.
Ada sekitar 20.000 demonstran di kota-kota besar Italia yang bergerak menuntut pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat. Ini gerakan bersejarah yang pernah ada di Eropa mendukung Palestina.
Gelombang dukungan Eropa terhadap pengakuan Negara Palestina sebagai negara berdaulat pada September 2025, yang ditunjukkan oleh langkah negara-negara seperti Inggris, Prancis, Portugal, dan Kanada, didorong oleh setidaknya empat alasan utama.
Pertama, krisis kemanusiaan di Gaza, dengan puluhan ribu kematian dan tuduhan genosida, telah memicu kemarahan publik, terutama di kalangan generasi muda dan serikat buruh, yang menuntut keadilan global, seperti terlihat dalam protes massal di Italia, Australia, dan lain-lain.
Kedua, pergeseran norma Eropa menuju nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kolonialisme mendorong pengakuan Palestina sebagai hak moral, bukan sekadar negosiasi politik.
Nesrine Malik di The Guardian (22 September 2025) menulis, “Keir Starmer’s announcement that the UK recognises Palestine as a state is welcome, but it is late – coming after a year of atrocities in Gaza that have killed tens of thousands and displaced almost the entire population.”
Ketiga, tekanan domestik dari gerakan sosial, seperti demonstrasi “Let’s Block Everything” di Italia dan kampanye media, memaksa pemimpin Eropa merespons opini publik yang kian pro-Palestina, dengan survei PIPD (April 2024) menunjukkan 52% warga Italia mendukung sikap pro-Palestina.
Keempat, isolasi diplomatik Israel dan keinginan Eropa untuk membedakan diri dari kebijakan AS yang pro-Israel mendorong langkah simbolis ini sebagai penolakan terhadap impunitas Israel, seperti dikemukakan dalam editorial Politico Europe (23 September 2025): “The cascade of European recognitions of Palestine – from the UK to France, Portugal to Malta – signals a profound shift in the continent’s approach to the Israeli-Palestinian conflict. It’s a direct rebuke to Israel’s unchecked actions in Gaza and the West Bank.” (Gelombang pengakuan Eropa terhadap Palestina – dari Inggris hingga Prancis, Portugal hingga Malta–menandakan perubahan besar dalam pendekatan benua ini terhadap konflik Israel-Palestina. Ini adalah teguran langsung terhadap tindakan Israel yang tidak terkendali di Gaza dan Tepi Barat).
Meski demikian, pengamat seperti Rokhaya Diallo di Le Monde (18 September 2025) memperingatkan,“France’s decision to recognise Palestine… is a belated imperative… But one cannot help but wonder if Macron’s move is less about justice and more about securing a legacy,” menunjukkan bahwa motif politik domestik juga memainkan peran, menjadikan dukungan ini perpaduan antara idealisme moral dan pragmatisme strategis.
Tentu saja, pengakuan dari 150 lebih negara pada negara Palestina barulah bersifat simbolis, perlu langkah-langkah panjang untuk benar-benar mengejawantah menjadi Negara Berdaulat. AS dan Israel pasti akan menjadi kendala yang tidak mudah.
Selain itu, pidato Presiden Prabowo yang dengan lantang mendukung solusi dua negara dan dukungan penuh selama ini pada Palestina menjadi energi besar bagi negara-negara yang masih gamang mendukung Palestina.
Semoga sejarah baru bakal tercipta, yakni terwujudnya dua negara berdaulat yang saling berkoeksistensi damai, negara Israel dan negara Palestina.
Mudhofir Abdullah adalah Guru Besar dan mantan Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta.