Radio Solopos – Dalam beberapa tahun terakhir euforia sepak bola di Indonesia makin terasa membuncah.
Suasana stadion yang kembali penuh, sorak sorai di media sosial, hingga perbincangan di warung kopi, semuanya menandakan satu hal: gairah masyarakat terhadap sepak bola tengah berada di puncak.
Pemicu utama tentu saja performa membanggakan tim nasional sepak bola Indonesia.
Skuad Garuda sukses menjaga peluang lolos ke Piala Dunia 2026 bahkan sempat menaklukkan tim kuat Asia seperti Arab Saudi dan Bahrain.
Dampaknya langsung terasa, peringkat Indonesia di FIFA naik signifikan. Kini berada di posisi ke-123 dunia, mengungguli sejumlah negara Asia seperti India, Malaysia, Filipina, dan Kuwait.
Di balik sorotan terhadap tim nasional, ada ironi yang mengganggu, yaitu kompetisi domestik, terutama Liga 1 Indonesia, justru tertinggal.
Menurut data Footy Rankings per 30 April 2025, Liga 1 Indonesia hanya berada di peringkat ketujuh Asia Tenggara.
Pahitnya lagi, liga kita berada di bawah Liga Kamboja, negara yang secara peringkat FIFA dan prestasi tim nasional jauh di bawah Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa tim nasional bisa melesat, sementara liga justru jalan di tempat?
Di wilayah Asia, klub-klub Indonesia belum mampu bersuara lantang. Persib Bandung, kampiun Liga 1 musim lalu, tersingkir di fase grup AFC Champions League (ACL) Two, kompetisi kasta kedua Asia.
Madura United dan PSM Makassar tak melangkah jauh di AFC Challenge League dan ASEAN Club Championship. Masing-masing hanya sampai di babak semifinal.
Minimnya prestasi ini erat kaitannya dengan persoalan struktural yang sudah lama menghantui, seperti manajemen klub yang belum profesional, pembinaan usia muda yang masih lemah, serta pengelolaan liga yang tak konsisten.
Banyak klub yang masih bergelut dengan tunggakan gaji, jadwal kompetisi yang semrawut, tindak kekerasan suporter, hingga dugaan pengaturan skor.
Ambil contoh PSIS Semarang, salah satu klub kebanggaan masyarakat Jawa Tengah. Laporan menyebut klub ini menunggak gaji pemain dan pelatih selama berbulan-bulan. Akibatnya, performa menurun dan sejumlah pemain memilih hengkang.
Sementara itu, negara tetangga melaju jauh. Di Thailand, Buriram United dan BG Pathum United rutin tampil kompetitif melawan klub Jepang dan Korea Selatan.
Malaysia punya Johor Darul Ta’zim (JDT), klub yang telah menjadi model pengelolaan secara modern dengan fasilitas lengkap, stadion milik sendiri, dan sistem manajemen yang terstruktur.
Vietnam serius membangun pembinaan usia dini dan efisiensi liga.
Bandingkan dengan kondisi Liga 1 Indonesia yang masih mudah terguncang. Tragedi Kanjuruhan menjadi pengingat getir soal lemahnya manajemen pertandingan.
Kasus pengaturan skor, konflik internal klub, hingga pergantian pelatih yang terlalu sering tanpa visi dan misi jangka panjang menunjukkan betapa rapuh fondasi sepak bola kita.
Rendahnya peringkat liga Indonesia menjadi cermin jujur. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin klub-klub di Indonesia kehilangan jatah langsung ke kompetisi Asia dan harus memulai dari babak playoff.
Berdasarkan data terbaru AFC, Indonesia saat ini hanya mendapat dua slot ke kompetisi Asia.
Hal ini mencerminkan peringkat liga domestik yang berada di urutan ke-28 dunia dan posisi keenam di Asia Tenggara, tertinggal dari Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Filipina.
Dua slot tersebut hanya dialokasikan untuk ACL Two dan AFC Challenge League. Itu pun melalui jalur playoff atau kualifikasi. Sementara itu, untuk ACL Elite, kompetisi paling bergengsi di Asia, Indonesia tidak memperoleh jatah sama sekali.
Ini bukan semata-mata soal gengsi, tapi juga soal masa depan industri, peluang bisnis dan sponsor, hingga regenerasi pemain. Kompetisi yang buruk juga akan berimbas ke tim nasional.
Saat ini, tim nasional Indonesia mengandalkan banyak pemain keturunan yang berkarier di Eropa.
Naturalisasi pemain sepak bola memang bukan sesuatu yang haram. Italia bisa juara Euro 2020 dan Maroko lolos ke semifinal Piala Dunia 2022 berkat kontribusi pemain diaspora.
Walakin, akan menjadi persoalan bila kita terus bergantung pada pemain luar tanpa memperbaiki fondasi dalam negeri.
Klub-klub lokal idealnya mampu menyumbang pemain tim nasional yang siap bersaing secara kualitas dan jam terbang.
Itu bisa terwujud jika kompetisi lokal menghadirkan standar permainan yang tinggi dan berkesinambungan.
Belum terlambat untuk berbenah. Liga Indonesia punya pasar besar, basis suporter yang fanatik, dan potensi ekonomi yang menjanjikan.
Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian dan keseriusan federasi, operator liga, dan klub-klub untuk menjadikan kompetisi sebagai fondasi kuat, bukan sekadar tontonan musiman.
Euforia di tribune, seheboh apapun, tak akan cukup membawa kita ke panggung terhormat dunia. Untuk itu, liga harus dibangun, bukan dibiarkan ngebul.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Mei 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)