Solopos FM – Sebanyak 82% Pendengar Solopos FM menyatakan bakal menolak jika mendapatkan serangan fajar menjelang Pilkada serentak yang akan digelar Rabu (9/12/2020) sedangkan 18% sisanya mengatakan akan menerimanya. Hal tersebut terlihat dari hasil pooling yang dibuat di instagram @soloposfmsolo terkait dengan tema Dinamika 103 yang membahas tentang “Mendapatkan Serangan Fajar, Terima atau Tidak?” pada Selasa (8/12/2020).
Senada dengan hasil pooling, pendengar yang mengirimkan wa ke Solopos FM mayoritas juga menyatakan akan menolak serangan fajar. Seperti yang disampaikan Sutrisno, pendengar Solopos FM di Plupuh. “Saya nggak akan terima, itu sama saja suap. Selama suara kita masih bisa dibeli jangan harap mempunyai pemimpin jujur dan adil,” kata dia.
Priyanto Sasongko dan Sriyatmo mengatakan senada yaitu calon pemimpin yang suka memberi suap kepada rakyatnya, setelah menang bukannya memenuhi janjinya tapi memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal, syukur-syukur untung, dengan menghalalkan segala cara.
Sementara itu, Ahmad Sanusi berpendapat politik of power yg dilakukan ketika menjelang pesta demokrasi adalah bahasa manover politik kekuasaan instan. “Ini merupakan titik paling rawan dalam berdemokrasi yang tidak cerdas yang dilakukan oleh para oportunis dan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja dengan pola sistematis dan terukur untuk mendulang suara politik.”
Politik uang dan serangan fajar menurut pendengar Solopos FM, Anwar Saif sebuah keniscayaan dan sulit dihilangkan selama kesejahteraan belum merata.
Keniscayaan adanya serangan fajar ini juga disampaikan oleh pengamat politik Arbi Sanit yang dihubungi Solopos FM untuk memberikan pendapat terkait tema ini. “Menjelang Pilkada, salah satu kerawanan pelanggaran yang mungkin terjadi di masa tenang adalah serangan fajar dan ini bukanlah hal yang baru dalam setiap pesta demokrasi. Serangan fajar ini merupakan salah satu bentuk politik uang yang berpotensi meningkat pada pilkada 2020 karena digelar di masa pandemi.”
Di masa normal saja, menurut Arbi, serangan fajar sudah lumrah terjadi, apalagi di situasi pandemi seperti saat ini dimana kondisi ekonomi masyarakat belum pulih. “Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi sama saja menodai demokrasi karena peluang terjadinya politik uang akan semakin besar,” ujarnya.
Meski demikian, Arbi berpesan bahwa hasil pilkada nanti menentukan masa depan bangsa dan pemerintah. “Karenanya, pilih calon yang benar-benar bisa membuat pemerintah lebih baik lagi, bukan berdasarkan berapa besar serangan fajar yang diberikan.”
[Diunggah oleh Intan Nurlaili]