Radio Solopos — Diabetes tipe 2, atau yang dikenal juga sebagai diabetes melitus, merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.
Kondisi ini menyebabkan kadar gula darah tetap tinggi dalam jangka waktu lama dan dapat memicu berbagai komplikasi serius.
Namun, tahukah kamu bahwa selain pola makan dan gaya hidup tidak sehat, stres juga berperan besar dalam meningkatkan risiko diabetes?
Penelitian terbaru dari Mount Sinai mengungkapkan hubungan antara stres kronis dan pola makan tinggi lemak dengan peningkatan risiko terkena diabetes tipe 2.
Studi ini menemukan adanya jalur khusus di otak, yaitu dari amigdala—bagian otak yang memproses emosi—ke organ hati.
Jalur ini berperan dalam mengatur respons “lawan atau lari”, yakni respons tubuh terhadap situasi stres dengan cara meningkatkan produksi gula darah untuk memberikan energi tambahan.
Secara alami, respons ini sebenarnya membantu tubuh menghadapi bahaya atau tekanan fisik dan mental jangka pendek.
Namun, jika seseorang mengalami stres yang berkepanjangan, terlebih jika disertai dengan konsumsi makanan tinggi lemak, jalur otak ini bisa mengalami gangguan.
Akibatnya, hati akan memproduksi gula darah secara berlebihan, meskipun tubuh tidak membutuhkannya.
Kondisi ini bisa menyebabkan hiperglikemia atau kadar gula darah tinggi secara terus-menerus, yang pada akhirnya meningkatkan risiko berkembangnya diabetes tipe 2.
Stres kronis tidak hanya berpengaruh pada kadar gula darah, tetapi juga berkaitan erat dengan kesehatan mental secara keseluruhan.
Menurut data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention), gangguan kesehatan mental yang tidak ditangani bisa memperburuk kondisi diabetes.
Sebaliknya, memiliki diabetes juga dapat memperburuk kondisi mental, menciptakan siklus dua arah yang saling memengaruhi.
Dalam keadaan stres, seseorang cenderung lebih sulit menjaga pola hidup sehat. Hormon stres yang meningkat dapat mengacaukan kadar gula darah, membuat pengelolaan diabetes menjadi lebih rumit.
Stres akibat penyakit, cedera, atau tekanan hidup lainnya pun bisa menyebabkan lonjakan gula darah. Selain itu, stres yang berlangsung lama juga dapat memperparah berbagai masalah kesehatan lainnya, termasuk gangguan kecemasan dan depresi.
Penderita diabetes diketahui memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Bahkan, mereka 20% lebih mungkin mengalami kecemasan dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.
Sementara itu, prevalensi depresi pada penderita diabetes mencapai dua hingga tiga kali lebih tinggi. Sayangnya, hanya sekitar 25% hingga 50% kasus depresi pada penderita diabetes yang terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan yang layak.
Padahal, pengobatan untuk depresi seperti terapi psikologis, penggunaan obat antidepresan, atau kombinasi keduanya terbukti efektif dalam membantu pemulihan.
Jika tidak ditangani, depresi cenderung memburuk seiring waktu. Karena itu, penting untuk mengenali gejala depresi sejak dini.
Beberapa gejala depresi yang perlu diwaspadai antara lain merasa sedih atau hampa tanpa alasan jelas, kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukai, gangguan makan seperti makan berlebihan atau kehilangan nafsu makan, serta perasaan cemas, bersalah, atau putus asa yang terus menerus.
Gejala lainnya bisa berupa kesulitan tidur atau tidur berlebihan, sulit berkonsentrasi, tubuh terasa lelah tanpa sebab yang jelas, sering mengalami nyeri fisik seperti sakit kepala, kram, atau masalah pencernaan, bahkan pikiran tentang kematian atau bunuh diri.
Melihat keterkaitan antara stres, kesehatan mental, dan diabetes tipe 2, penting bagi siapa pun—terutama penderita diabetes—untuk tidak hanya fokus pada pengelolaan kadar gula darah, tetapi juga menjaga kesehatan mental secara menyeluruh.
Mengelola stres melalui relaksasi, olahraga, tidur cukup, serta dukungan sosial dan profesional bisa menjadi langkah penting dalam mencegah dan mengelola diabetes tipe 2.