Radio Solopos — Kamis (10/7/2025) pagi, suasana di rumah saya sedikit berbeda dari biasanya. Setelah sebulanan saya ”libur” mengantar anak ke sekolah, rutinitas itu kini kembali.
Saya mengantar si bungsu ke sekolah barunya, sebuah SMP swasta di Solo.
Walaupun resmi masuknya Senin depan (14/7/2025), Kamis itu anak-anak datang untuk penjelasan persiapan.
Perjalanan dari Colomadu ke Solo, sekitar 30 menitan naik motor, jadi ajang ngobrol kami.
”Yah, aku takut,” katanya, setengah berteriak agar terdengar di balik helm.
”Takut kenapa, Dik?”
”Kalau aku enggak sekelas teman SD dulu gimana?” Rupanya, ia berharap bisa sekelas dengan sahabatnya dari SD yang kebetulan juga masuk SMP yang sama.
Ada kecemasan di raut wajahnya, memikirkan berbagai kemungkinan ”jangan-jangan” yang membuatnya gelisah. Saya berusaha menenangkannya.
”Jangan khawatir, Nak. Guru-gurunya baik kok. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke gurunya.”
Kekhawatiran seperti ini sangat wajar. Orang dewasa pun sering mengalaminya saat menghadapi hal baru, yang disebut neophobia. Rasanya campur aduk: jantung berdebar, keringat dingin, perut mulas, dan keinginan kuat untuk menghindari situasi baru itu. Saya yakin banyak orang dewasa dan anak-anak yang mengalami hal serupa.
Anak-anak bisa sangat stres saat masuk sekolah baru. Mereka khawatir bagaimana nanti berteman, takut tidak diterima, atau bahkan yang paling mengerikan: takut menjadi korban bullying atau perundungan.
Kenapa khawatir dengan sekolah? Pertanyaan ini mengusik banyak dari kita.
Harus diakui, sekolah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak-anak, seringkali justru menjadi arena terjadinya ”tiga dosa besar pendidikan” yang diakui Mendikbud Nadiem Anwar Makarim pada 2022: perundungan (bullying), intoleransi, dan kekerasan seksual.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sungguh mencengangkan. Pada 2024, KPAI menerima 2.057 pengaduan terkait anak, dengan 240 kasus di antaranya adalah korban kekerasan fisik dan psikis.
Yang lebih memprihatinkan, pada 2024, KPAI menyebut 35% kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Bahkan, dari 46 kasus anak mengakhiri hidup, 48% terjadi saat mereka masih berseragam sekolah!
Di Soloraya sendiri, kita punya catatan kelam. Ingat kasus santri 13 tahun di sebuah pondok pesantren di Grogol, Sukoharjo, yang meninggal dunia akibat kekerasan seniornya pada 2024?
Pada April 2025, puluhan siswa setingkat SD di Grogol, Sukoharjo, menjadi korban pelecehan seksual oleh gurunya. Ya Tuhan, rasanya sedih sekali mendengar berita-berita seperti ini.
Saya sempat satu forum bersama Diyah Puspitarini, anggota KPAI, beberapa bulan lalu. Diyah menjelaskan ada siklus kekerasan di sekolah berdasarkan data kasus yang terjadi.
Pada Januari-Maret, biasanya tren yang terjadi adalah anak mengakhiri hidup, tawuran anak, dan bullying.
Lalu April-Mei, kasus yang sering terjadi adalah tawuran atau kejahatan jalanan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) anak.
Pada Juni-Agustus, tren kasusnya anak dibunuh orang tua atau keluarga dekat, tawuran, dan bullying. Sedangkan pada September-Oktober, sering terjadi kekerasan di satuan pendidikan dan anak mengakhiri hidup.
Pada November-Desember, kasus yang paling banyak adalah bullying, KDRT anak, dan anak mengakhiri hidup.
Diyah mengatakan kekerasan di sekolah seringkali meningkat setelah masa MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Mengapa?
Setelah MPLS, ada pembedaan antara ”junior” (siswa baru) dan ”senior”. Di sinilah potensi kekerasan sering muncul, dengan junior menjadi korban utama.
Ini biasanya terjadi pada September-Oktober. Potensi kekerasan ini sangat besar di berbagai jenis sekolah, mulai dari sekolah umum hingga pondok pesantren.
Belum lagi, bibit intoleransi juga bisa tumbuh di sana, membuat anak-anak tidak bisa menerima perbedaan suku, agama, ras, hobi, bahkan ekonomi.
Melihat semua fakta ini, sebagai orang tua, kita tentu cemas. Namun, kekhawatiran saja tidak cukup. Orang tua, pihak sekolah, dan pemerintah wajib bersama-sama mewaspadai dan menindak tegas setiap bentuk kekerasan.
Di Solo, ada inisiatif yang patut diapresiasi. Badan Keselamatan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) menggandeng berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk turut mengisi kegiatan MPLS di sekolah-sekolah.
OMS yang terlibat adalah Solopos Institute, Mafindo, PeaceGen, Yayasan Kakak, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Gema FKUB, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Forum Anak Surakarta, Gusdurian, GP Ansor, dan IPPNU.
Mereka masuk ke sekolah untuk mengedukasi dan memerangi tiga dosa besar pendidikan.
Harapannya, MPLS bukan hanya ajang perkenalan, tapi juga pintu masuk untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan.