Radio Solopos – Pertamina sebagai BUMN minyak dan gas nasional, termasuk unit-unit hilir, unit LNG, dan unit impor/ekspor. Pertamina mencatat kerugian finansial dalam periode tertentu — baik kerugian operasional, beban keuangan, maupun kerugian negara akibat penyimpangan dan korupsi. Misalnya, pada semester I 2020, Pertamina mencatat kerugian sekitar USD 767,92 juta atau senilai Rp 11,13 triliun. Kasus korupsi & pengadaan: KPK menyebut bahwa kerugian akibat pengadaan LNG senilai USD 124 juta terjadi karena pembelian yang tidak terserap pasar. Juga, BPK menemukan indikasi penyimpangan dalam pengadaan LNG Corpus Christi senilai USD 113,83 juta. Skandal besar baru-baru ini (2025): Terdapat dugaan korupsi impor minyak/bahan bakar selama 2018–2023 yang menyebabkan kerugian negara hingga sekitar Rp 193,7 triliun.
Kerugian tidak hanya bersifat satu kali, melainkan terjadi berulang kali dalam beberapa periode anggaran (semester, tahunan). Kasus impor & penyimpangan bahan bakar antara 2018–2023 menjadi sorotan publik dan penegak hukum pada 2025. Momen krisis: Pandemi COVID-19 (2020–2021) menjadi titik kritis ketika permintaan BBM merosot drastis. Kerugian terjadi di seluruh rantai bisnis Pertamina — dari operasi hulu (eksplorasi & produksi) hingga hilir (pengolahan, distribusi, impor, ekspor). Unit impor dan pengadaan (misalnya LNG), distribusi BBM, serta unit hilir di banyak wilayah Indonesia. Mulai dari kantor pusat di Jakarta hingga unit regional/kilang/terminal di berbagai provinsi.
Berikut analisis faktor-faktor penyebab kerugian:
1. Penurunan permintaan & gejolak pasar
- Pandemi COVID-19 menurunkan mobilitas, mengurangi konsumsi BBM secara drastis.
- Tren energi global bergeser, misalnya penggunaan energi terbarukan, efisiensi, serta tekanan untuk menurunkan emisi — mengurangi ruang bagi produk fosil.
2. Fluktuasi nilai tukar & harga minyak dunia
- Karena pembukuan Pertamina berdenominasi dolar, depresiasi rupiah menambah beban keuangan (biaya impor & utang dalam USD).
- Penurunan harga minyak dunia juga memukul margin usaha hulu, mempersempit keuntungan eksplorasi & produksi.
3. Subsidi, kompensasi, dan utang pemerintah
- Pertamina menanggung selisih harga BBM apabila harga dunia naik, tetapi pemerintah belum membayar kewajiban kompensasi penuh.
- Piutang pemerintah kepada Pertamina terkait penyediaan BBM bersubsidi atau Kewajiban Harga Jual Eceran (HJE) belum dibayar secara tuntas, sehingga menambah beban likuiditas.
4. Inefisiensi operasional & biaya tinggi
- Biaya operasional, distribusi, infrastruktur, pemeliharaan kilang dan perawatan jaringan seringkali tinggi atau tidak efisien.
- Inventori yang menumpuk (misalnya stok avtur atau solar) saat permintaan rendah memunculkan biaya penyimpanan besar.
5. Masalah tata kelola, pengawasan, dan korupsi
- Indikasi penyimpangan pengadaan, perekrutan, dan impor bahan bakar sudah lama menjadi sorotan — dan kasus baru 2025 menunjukkan skema kolusi dan distorsi dalam impor & distribusi.
- Mekanisme audit internal dan pengawasan eksternal (parlemen, BPK, KPK) masih dianggap lemah atau kurang transparan.
- Ketidakpatuhan terhadap prinsip GCG (Good Corporate Governance) — misalnya keputusan politik yang mengintervensi operasional, konflik kepentingan, dan pengabaian aspek transparansi.
Gambaran mekanisme Kerugian Terjadi
- Pertamina membeli minyak impor atau bahan bakar asing dengan harga tinggi (USD) → ketika dijual di pasar domestik, marjin tipis atau bahkan rugi jika pemerintah tidak memberi kompensasi penuh.
- Permintaan rendah → penjualan drop → pendapatan (revenue) menyusut, sementara beban tetap atau utang tetap berjalan → defisit operasional.
- Kurs melemah → beban utang & impor meningkat secara rupiah → kerugian translasi (selisih kurs).
- Pengadaan fiktif atau manipulasi harga → alokasi dana tidak efektif → kerugian negara langsung.
- Piutang pemerintah yang tak dibayar → mengganggu arus kas Pertamina → memaksa Pertamina menggunakan dana sendiri untuk menutup biaya, sehingga menciptakan tekanan likuiditas.
Jadi, mengapa Pertamina selalu rugi? Jawabannya bukan satu faktor tunggal, melainkan kombinasi tekanan pasar (penurunan permintaan & volatilitas harga), beban eksternal (kurs, subsidi & kompensasi yang belum dibayar oleh pemerintah), serta kelemahan internal (inefisiensi operasional, tata kelola buruk, korupsi). Jika dibiarkan, kerugian berkelanjutan membawa dampak fatal: beban keuangan negara makin besar, kepercayaan publik merosot, dan kemampuan Pertamina untuk menjalankan fungsi strategis energi nasional melemah.
Oleh karena itu, menurut pandangan dari penulis :
- Pemerintah harus segera melunasi utang & kompensasi kepada Pertamina agar beban likuiditas bisa dikurangi.
- Reformasi struktural dan terobosan tata kelola — memperkuat audit internal, transparansi kontrak, pengawasan independen.
- Meninjau skema subsidi dan harga BBM agar lebih adil, berbasis transparansi dan efisiensi, bukan intervensi politik semata.
- Diversifikasi bisnis, efisiensi biaya operasional, dan strategi energi terbarukan agar Pertamina tidak bergantung terlalu berat pada komoditas fosil yang fluktuatif.
- Media dan opini publik perlu terus menyoroti dan mengawal agar janji reformasi tidak menjadi retorika kosong.
Penulis :
Ferdyaji Kurniawan, S.I.Kom.
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi – STIKOM InterStudi